Misalnya, lembaga-lembaga riset di Finlandia membiaya langganan karya ilmiah sebesar 27 juta euro; kira-kira 1/3 dari jumlah itu masuk ke Elsevier. Hal ini memicu 2800 peneliti di Finlandia mengajukan petisi dan boikot.
Sebanyak 60 lembaga riset Projekt DEAL asal Jerman mengakhiri kontrak kerja sama dengan Elsevier sejak 1 Januari 2017. Alasannya, Elsevier menolak usul Projekt DEAL agar memiliki akses terbuka ke Elsevier.
Tahun 2018, 200 perguruan tinggi di Jerman membatalkan langganan jurnal Elsevier. Agustus 2017, 186 lembaga Jerman membatalkan kontrak dengan Elsevier.
Mitra lain Elsevier ialah Max Planck Society (MPS). Lembaga ini adalah wadah 14.000 ilmuwan pada 84 lembaga riset dan penerbit 12.000 artikel tiap tahun. Akhir Desember 2018, MPS mengakhiri kerja sama langganan publikasi dari Elsevier.
Februari 2019, Califonia University mengakhiri langganan atau akses publikasi hasil riset yang didanai pada Elsevier. Tahun 2020, MIT mengakhiri pembayaran langganan artikel akademis baru Elsevier.
Elsevier kolaborasi perpustakaan 70 perguruan tinggi Korea Selatan. (Science, 2018) Di Taiwan, konsorsium CONCERT, wadah 140 lembaga, mengakhiri kontrak dengan Elsevier awal Desember 2016. (Schmitt, 2017; Schiermeier, 2016)
Desember 2018, konsorsium Electronic Information Service National Programme Hongaria mengakhiri kontrak langganan ke Elsevier. Elsevier bekerjasama dengan sekitar 44 lembaga (perguruan tinggi, lembaga riset, dan rumah sakit) di Norwegia. Karena lonjakan biaya dan keterbatasan akses ke produk Elsevier, Pemerintah Norwegia membatalkan kontrak langgan 44 lembaga itu ke Elsevier. (UNIT, 2019)
Konsorsium Bibsam (universitas dan lembaga riset) asal Swedia mengakhiri kontrak Elsevier Mei 2018. Hasil negosiasi November 2019, Swedia membayar akses membaca jurnal Elsevier dan penerbitan semua artikel peneliti Swedia ke Elsevier.
United Nations Environment Programme (UNEP), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), membentuk badan antar-pemerintah PBB (Intergovenmental Panel on Climate Change/IPCC) tahun 1988. IPCC beranggotakan 195 pemerintah (negara), termasuk Indonesia.
Sekretariat IPCC di Geneva, Swiss, dengan misi dan tugas pokok meningkatkan ilmu pengetahuan tentang perubahan iklim akibat perilaku dan tindakan manusia. Senin 9 Agustus 2021, dari Geneva (Swiss), IPCC merilis laporan ilmiah dari 234 ahli perubahan iklim 3.000 halaman tentang risiko perubahan iklim hingga 2030-an.
Isinya, saat ini suhu global naik 1,1 derajat Celsius sejak abad 19 M, level tertinggi selama 100 tahun terakhir. Pemicu utama ialah kegiatan manusia membakar bahan bakar fosil – batu-bara, minyak, kayu, dan gas alam.
Hal paling pokok dan penting dari laporan IPCC (2021) ialah manusia adalah faktor dan penyebab utama perubahan iklim. Jadi, perubahan iklim bukan sebab alamiah.
Isu ini sudah ditulis oleh Komisi Brundtland dalam ‘Our Common Home’ (1987) dari Sekretariat Jenderal PBB. Laporan itu hasil riset dan kajian Tim Gro Harlem Brundtland usai melakukan survei, diskusi, dan dialog dengan ribuan orang pada 115 negara.
Dari Indonesia, Profesor Dr Emil Salim adalah anggota Komisi Brundtland. Maret 1986, Komisi Brundtland melakukan dengar-pendapat dengan sejumlah pihak di Jakarta, misalnya, Syamsuddin Nainggolan dari Yayasan Panca Bakti tentang wilayah ‘slum’ (kumuh) kota; Andi Mappasala dari Yayasan Tellung Poccoe tentang pertanian; Adi Sasono dari Institute for Development Studies tentang minyak, gas, dan birokrasi. (WCED, 1987)
Dua isu penting muncul dalam ‘public hearing’ Komosi Brundtland di Indonesia saat itu ialah (1) cegah pilihan iptek-iptek yang sangat berisiko terhadap sehat-lestari lingkungan dan perkuat sistem pasokan energi ramah-lingkungan, khususnya renewable energy; (2) pemerintah membangun cagar alam hayat-hidup liar (wild-life), misalnya program taman-nasional; pesan ini berasal dari World Congress on National Parks ke-3 di Bali, Oktober 1982. (WCED, 1987:133)