Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Itu Resesi Seks yang Berpotensi Dialami Indonesia, Penyebab, dan Dampaknya?

Kompas.com - 14/12/2022, 06:00 WIB
Nur Rohmi Aida,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Indonesia berpotensi mengalami resesi seks seperti yang terjadi di China, Jepang, dan Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir. 

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyebutkan, Indonesia berpotensi mengalami resesi seks apabila melihat sejumlah tanda-tandanya. 

Gejala resesi seks di Indonesia menurut Hasto terlihat dari usia pernikahan penduduk Indonesia yang semakin tinggi.

Baca juga: Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog

Jika sebelumnya mayoritas pernikahan terjadi pada pasangan usia muda, kini trennya banyak pasangan yang menunda pernikahan.

"Potensi itu (resesi seks Indonesia) ada, ada ya, tapi sangat panjang, karena kan gini usia pernikahan semakin lama kan semakin meningkat. (Ini bicara ) pernikahan loh bukan seks," kata Hasto dikutip dari Kompas.com (12/12/2022). 

Penyebab usia pernikahan mundur menurutnya karena semakin menempuh studi, karier dan sebagainya. 

Fenomena itu, kata Hasto, banyak terjadi di kota-kota besar. Selain usia pasangan menikah yang semakin mundur, tren keluarga kecil dengan jumlah anak sedikit juga sedang terjadi.

Apa itu resesi seks?

Dikutip dari laman The Atlantic, istilah resesi seks ini bermula dari sebuah tulisan Kate Julian yang muncul dalam cerita sampul The Atlantic bulan Desember. 

Saat itu Kate menyebut, resesi seks terjadi karena remaja dan kalangan dewasa muda di Amerika Serikat melakukan lebih sedikit seks dibandingkan generasi sebelumnya.

Meski demikian, apa yang dimaksud Kate dalam tulisan tersebut merujuk pada kebiasaan seks yang dilakukan oleh orang Amerika Serikat yang cenderung memiliki toleransi besar melakukan seks sebelum menikah.

Berdasarkan survei perilaku risiko remaja yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS menemukan, jumlah siswa sekolah yang pernah melakukan hubungan seksual turun dari 54 menjadi 40 persen.

Dengan kata lain, seks telah berubah, dari yang sebelumnya dialami oleh sebagian besar siswa sekolah menengah Amerika Serikat, menjadi sesuatu yang belum pernah dialami.

Selain itu, ini berarti tingkat kehamilan remaja AS anjlok menjadi sepertiga dari level sebelumnya.

“Dewasa muda saat ini berada di jalur yang tepat untuk memiliki lebih sedikit pasangan seks dibandingkan dua generasi sebelumnya,” ujar Profesor Psikologi San Diego State University Jean M. Twenge dalam tulisan Kate.

Menurutnya, orang-orang yang kini berusia 20-an, 15 persennya tak berhubungan seks meskipun mereka sudah mencapai usia dewasa.

Ia juga mengatakan dari akhir 1990-an hingga 2014, berdasarkan hasil survei sosial umum rata-rata orang dewasa beralih dari berhubungan seks 62 kali setahun menurun menjadi 54 kali dalam setahun.

Sementara survei terbaru tahun 2016 menurutnya jumlah tersebut turun lebih tajam.

Baca juga: Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog

Penyebab resesi seks

Kate dalam tulisan tersebut juga menyampaikan berdasarkan penelitiannya, dirinya menilai resesi seks ini mungkin diakibatkan oleh konsekuensi dari budaya hookup, tekanan ekonomi, tingkat kecemasan yang tinggi, kelemahaan psikologis, penggunaan antidepresan yang meluas.

Selain itu juga diakibatkan oleh televisi streaming, faktor lingkungan, penurunan testosteron, porno digital , maraknya vibrator, aplikasi kecan, pertimbangan karir, smartphone, adanya informasi yang berlebihan, serta mulai munculnya orientasi seksual yang beragam.

“Mungkin lebih banyak orang memprioritaskan sekolah atau pekerjaan daripada cinta dan seks, setidaknya untuk sementara waktu, atau mungkin mereka hanya menjadi selektif dalam memilih pasangan hidup. Jika demikian, ini baik untuk mereka,” ujar Kate dalam tulisannya.

Beban dan tanggungjawab

Smenetara itu, Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono menjelaskan, resesi seks di Indonesia dapat terjadi apabila generasi muda saat ini atau yang akan datang memilih hidup sendiri.

Ia menjelaskan, keinginan untuk hidup seorang diri muncul karena orang merasa tidak dibebani dengan tanggung jawab pada pasangan bahkan anak.

Keengganan generasi muda di Indonesia untuk menikah juga dikatakan Drajat terlihat dalam riset yang dilakukannya tentang perempuan otonom.

Perempuan otonom berusia 26-30 tahun yang diwawancara Drajat memilih untuk tidak menikah karena lebih mengutamakan profesi.

Mereka juga enggan untuk berumah tangga dengan alasan melanjutkan studi dan ingin mengatur ekonomi dan hidupnya sendiri.

"Kemudian, mereka (orang tidak menikah) bisa mengelola waktu yang dimiliki, jadi kalau capek ya tidur dan tidak ada yang mengganggu," jelas Drajat.

Drajat juga menyampaikan, keenganan generasi muda menikah karena mereka tidak mau terlibat dalam pertengkaran dalam keluarga.

Menurutnya, konflik dalam rumah tangga dikhawatirkan oleh generasi muda karena dapat mengacaukan pekerjaan dan mengganggu mental selama berhari-hari.

"Keuntungan secara emosional tidak sebanding dengan itu (pertengkaran) sehingga keluarga itu dianggap tidak terlalu menguntungkan," jelasnya.

Baca juga: Alami Resesi Seks, Jepang dan Korsel Akan Beri Subsidi Rumah Baru Pasutri

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com