Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Hujan Panas

Kompas.com - 09/12/2022, 15:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

DUA lema tersebut secara geografi mengacu pada nama musim. Indonesia memiliki kedua-duanya. Dulu, saat belajar ilmu pengetahuan sosial (IPS) di sekolah dasar, sang guru selalu menjelaskan hafalannya bahwa musim hujan ditandai dengan bulan yang huruf akhirnya –er.

Kita pun akan mengeja dan menuliskan dalam buku catatan maupun lembar ujian bahwa hujan akan turun sekitar bulan September, Oktober, November, dan Desember. Artinya lagi, bersiap-siagalah dengan ember.

Akan tetapi, hafalan guru terkait bulan-bulan musim hujan ditolak Sapardi Djoko Damono. Sang penyair menyanggah melalui puisinya yang berjudul “Hujan di Bulan Juni”.

Barangkali Juni 1989 lalu saat puisi ini diciptakan, alam sedang meluapkan rasa rindunya. Basahlah bumi di bulan Juni. Kacaulah hafalan guru.

Sama kacaunya dengan beberapa hari belakangan ini. Cuaca benar-benar tak menentu. Padahal Kepala BMKG sudah memprediksi ini itu. Yang jelas, hujan turun simultan dengan panas. Hujan panas.

Saat kita kira panas datang mendera, bersiap-siap menjemur segala yang basah. Eh, seketika itu pula hujan turun. Aneh bukan? Cuaca seperti pemberi harapan palsu (PHP).

Ya, sama php-nya dengan para petinggi yang tidak terkena panas maupun hujan saat berada di singgasananya.

Terkait hujan panas ini, di kebudayaan tertentu, Minangkabau, misalnya, hujan panas sejak dahulunya sudah memiliki kearifan lokal tersendiri.

Masyarakat Indonesia umumnya memaknai hujan panas ke dalam dua makna. Pertama, bermakna ungkapan, yakni telah biasa bahwa kehidupan manusia ada kalanya susah, ada kalanya senang.

Kedua, bermakna hujan yang turun ketika matahari sedang bersinar, biasanya disertai timbulnya pelangi.

Kedua definisi itu ada dicantumkan di dalam KBBI. Definisi yang kedua dalam KBBI tersebut sepertinya lebih cocok untuk fenomena sun shower atau hujan matahari (Kompas.com, 05/02/22), yang sesuai dengan judul tulisan ini.

Nah, masyarakat Minangkabau memaknai hujan panas ini dengan cara yang unik. Ada aroma-aroma lokalnya (jika diksi mistis dinilai terlalu ekstrem).

Pertama, kondisi paradoks. Misalnya, terdapat pada lirik lagu viral milik Ipank, “Rantau Den Pajauah”.

Ipank menggunakan frasa ujan paneh ‘hujan panas’ untuk memperkuat pengorbanannya di rantau, dua musim ia lalui demi mengumpulkan harta benda. Artinya, ujan paneh secara hermeneutik berbeda dengan yang didefinisikan KBBI.

Kedua, ujan paneh bermakna ‘ada mayat yang belum ditemukan, ‘ada yang akan mati muda’, ‘ada yang akan mati berdarah’. Ngeri bukan kearifan lokalnya?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com