Oleh: Zen Wisa Sartre dan Ristiana D. Putri
KOMPAS.com - Sungguh sulit bila harus mendefinisikan dan menjawab pertanyaan, “apa itu karya?”. Dalam sastra, Horatius pernah mengungkapkan bahwa karya sastra mempunyai dua fungsi utama, yaitu dulce et utile yang berartikan sastra dapat memberi hiburan sekaligus manfaat.
Akan tetapi, apakah sebuah karya harus selalu bermanfaat? Apakah karya sastra atau karya apa pun yang dianggap tidak bermanfaat dan hanya memberi hiburan semata bukanlah sebuah karya?
Terlepas dari itu semua, Dimas Oky Nugroho, akademisi sekaligus aktivis masyarakat sipil Indonesia, mengungkapkan gagasan perihal pentingnya bagi negara memfasilitasi generasi muda berkarya dalam siniar BEGINU bertajuk “Yang Muda Yang Berkarya” yang dapat diakses melalui tautan berikut dik.si/BeginuDimasOkyP2.
Dalam sebuah kritik kesusastraan sendiri selalu ada perbedaan mengenai pendekatan. Sebagai contoh, pendekatan realisme sosialis yang mengutamakan bahwa sebuah karya apa adanya layaknya sebuah cerminan keadaan masyarakat.
Pendek kata, pendekatan realisme sosialis ini melihat karya sastra realisme sosialis yang mampu memantik semangat masyarakat karena merepresentasikan penderitaan dan kenyataan yang dialami oleh masyarakatnya.
Baca juga: Rumah Sakit Simpang, Dulu Dielukan Kini Tinggal Kenangan
Adapun pencetus realisme sosialis ini adalah Maxim Gorky. Pada tanggal 26 Oktober 1931, Josef Stalin dan para pejabat lainnya melakukan perundingan untuk menyusun perkembangan seni dan sastra.
Penyusunan ini diharapkan mampu menyatukan realisme dan romantisisme dalam sebuah karya seni yang dapat menggambarkan keadaan masa kini dengan lebih cerah.
Maksudnya, karya seni dengan mengangkat tema keadaan tersebut diyakini mampu mengubah pola pikir dan mental masyarakat. Dalam konteks ini, realisme sosial adalah bagian dari strategi atau instrumen agen perubahan masyarakat.
Itulah mengapa, realisme selalu memiliki magnet atau daya tarik bagi mereka yang bergerak dalam bidang politik.
Di Indonesia, S. Sudjojono menegaskan pentingnya realisme untuk menentang doktrin kesenian zaman kolonial yang mengutamakan alam “Mooi Indie”, yaitu masyarakat yang hidup bagaia, romantis, damai, dan hidup layaknya di surga.
Sementara itu, Sudjono ingin mengungkapkan manusia Indonesia yang sebagaimana adanya; kehidupan yang kumur, berkerumun mendengarkan radio umum, dan menjadi pejuang dengan tubuh pendek.
Tentunya, gagasan realisme yang diungkapkan Soedjana sangatlah mengukau, lalu dimanifestasikan sebagai instrumen untuk melawan doktrin kesenian kolonial.
Karya yang mengandung realisme sosial ini mengonstruksi keyakinan dan optimisme masyarakat bahwa ada cahaya atau kehidupan yang lebih baik di masa depan yang direpresentasikan melalui sebuah karya.
Akan tetapi, kita juga jangan melupakan sebuah bahasa yang merupakan elemen penting bagi masyarakat agar memahami sebuah karya. Bahasa di sini bukan sebatas kata, melainkan tanda yang dapat dimengerti masyarakat.