INDONESIA, yang beroleh julukan warga dunia sebagai Negeri Cincin Api, sejatinya menjadi negeri paling berbahaya untuk ditinggali. Ratusan gunung berapi yang tumbuh subur itu, masih dilengkapi dengan tiga lempeng benua yang beririsan di bawah Pulau Jawa.
Masih belum cukup, ada lagi tiga sesar aktif yang salah satunya telah memorak-porandakan Cianjur (Jawa Barat) pada Senin, 21 November 2022. Para ahli geologi menamai tiga bersaudara itu sebagai Cimandiri, Lembang, dan Baribis.
Tentu saja, yang terjadi di Cianjur adalah rangkaian panjang peristiwa alam yang kita namai bencana. Gempa misalnya, tak pernah membunuh. Manusialah yang abai padanya dengan membuat hunian tak ramah lingkungan. Sebagaimana laiknya rangkaian, wajar bila gempa Cianjur disusul ratusan rekannya selama beberapa hari.
Baca juga: Update Korban Gempa Cianjur: 334 Jiwa Meninggal, 8 Orang Masih Hilang, 593 Orang Luka Berat
Salah satu hasil kontraksinya, meletuslah Gunung Semeru di Jawa Timur pada Jumat, 4 Desember 2022. Menariknya, letusan Semeru sudah didahului Lewotolo di Nusa Tenggara Timur (NTT), dengan durasi yang tak jauh beda. Keduanya sama sedang mengulang letusan pada 2021.
Bukankah pola seperti itu sudah kita saksikan berulangkali? Adakah kita memetik pelajaran dari itu semua?
Berkaitan dengan gempa bumi dan beberapa gunung yang sedang aktif, leluhur kita sudah menjelaskan bahwa itu terjadi karena pergerakan "Bedawang Nala" (seekor kura-kura raksasa di dalam inti bumi yang dibelit dua naga penjaga), lantaran Naga Basuki dan Naga Anantaboga terlelap/terlena sekejap saat bertugas melilit tubuh Bedawang Nala sebagai penyeimbang.
Jika ditelusuri dari akar kata, akan tersingkap suatu pengertian. Bedawang adalah kura-kura, "Nala" (Anala) dalam bahasa Sansekerta berarti api. Jadi pengertian dari Bedawang Nala ini sebenarnya tak lain adalah magma yang ada di dalam inti bumi.
Ada pun Anantaboga berasal dari dua kata yaitu "ananta" yang berarti "bermacam ragam dan tak ada habisnya", dengan "boga" yang berarti makanan. Jadi pengertian dari kata anantaboga sebenarnya adalah tanah (pertiwi/prativi) karena tanah tak pernah berhenti memberikan makanan, sehingga yang berada di atas tanah bisa tetap hidup.
Sedangkan Basuki, lambang dari air dan gunung, juga bisa diartikan keselamatan atau kehidupan. Apa yang bisa melahirkan kehidupan? Jawabannya air. Di mana ada air, maka di situlah sumber kehidupan.
Menurut tradisi tutur tinular (sejarah dalam bentuk tradisi lisan), jikalau Naga Anantabhoga bergeser akibat gerakan Bedawang Nala, maka akan menyebabkan linuh, lindu, atau gempa (tektonik). Namun bilamana gerakan Bedawang Nala begitu kuat, akan berakibat Naga Basuki ikut bergeser sehingga timbul bencana yang berhubungan dengan air (orang Jepang menyebutnya tsunami).
Baca juga: Bagaimana Proses Terjadinya Gempa Tektonik?
Para ilmuwan kiwari menjelaskan secara sederhana proses terjadinya gempa bumi akibat tumbukan antara lempeng bumi, patahan aktif, aktivitas gunung api, atau runtuhan batuan. Ketika lempeng bumi bertumbukan, tanah pun ikut berguncang. Kalau tumbukan itu terjadi di dasar laut dengan kekuatan di atas 6 SR dan kedalaman yang dangkal, air laut pun teraduk naik menjadi tsunami.
Bukankah penjelasan itu tak jauh beda dengan gambaran kisah Bedawang Nala di atas? Tidakkah kita kagum dengan ilmu-pengetahuan para leluhur Nusantara pada masa silam?
Mereka bahkan telah mengerti bahwa bumi ini mempunyai tujuh lapisan yang dijuluki Sapta Patala. Segaris lurus dengan para ilmuwan modern yang mengatakan bahwa bumi juga memiliki beberapa lapisan.
Nah, lapisan inilah yang kerap kali bergerak mencapai titik keseimbangan. Dalam upaya tercapainya titik keseimbangan ini, pasti akan ada perubahan, pergeseran, atau malah ada beberapa lapisan yang terhempas.
Karena manusia dan alam berasal dari unsur yang sama (air, api, tanah, udara), maka hukum keseimbangan itu harus setimbang. Manusia yang oleng pijakan kehidupannya, niscaya terlepas dari keselarasan alam. Ia akan rongseng sendiri dengan hidup yang sedang dijalaninya.