Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Indonesia memiliki banyak bangunan bersejarah yang tersebar di seluruh provinsi. Salah satunya adalah rumah sakit yang banyak dikaitkan dengan hal-hal mistis. Bahkan, cerita-cerita horor sekolah angker berawal dari tanah bekas rumah sakit.
Rumah Sakit Simpang pun demikian. Kini, rumah sakit yang sangat berjasa pada masa Pertempuran Surabaya itu sudah berubah menjadi Kawasan Delta Plaza Surabaya. Kisahnya pun diceritakan kembali dalam audio drama siniar Tinggal Nama bertajuk “Kesaksian Rumah Sakit Simpang” dengan tautan dik.si/TNRSSimpang.
Mengutip Historical Hospitals, Rumah Sakit Simpang adalah rumah sakit tertua di Surabaya yang dibangun sekitar tahun 1808 dan ditutup pada 1923. Semula, rumah sakit ini diberi nama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting yang terkenal dengan sebutan Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ). Ada pula yang menyebutnya sebagai Simpang Hospital atau Rumah Sakit Simpang.
Rumah sakit ini dibangun atas perintah Gubernur Jenderal Daendels untuk melengkapi keberadaan rumah sakit sebelumnya karena bangunannya terlalu rendah dan pengap. Namun, pembangunan rumah sakit ini juga pernah mengalami pembongkaran dan penambahan ruang.
Baca juga: 5 Kasus Pembunuhan Dunia yang Belum Terpecahkan
Saat awal dibangun, rumah sakit ini hanya sebatas melayani sebagai pasien militer karena merupakan bagian dari Layanan Medis Militer (MGD). Seiring berjalannya waktu, rumah sakit ini juga melayani warga sipil dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Hal inilah yang menyebabkan kapasitas rumah sakit ini membludak.
Ditambah, pada 1868, wabah kolera sempat melanda yang membuat jumlah pasien bertambah hingga tiga kali lipat jumlah normal. Tak hanya itu, jumlah pasien pun semakin bertambah karena kedatangan militer yang terluka setelah kembali dari ekspedisi Bali.
Rumah Sakit Simpang juga memiliki rumah dinas yang dibangun di sekitar komplek rumah sakit. Selain itu, pada 1913 dibangun pula NIAS (Nederlandsch Indische Artsen School), sekolah untuk mendidik calon dokter yang selanjutnya melakukan praktik di Rumah Sakit Simpang.
Hingga saat ini, Gedung NIAS masih berdiri dan beralih fungsi menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
Mengutip Liputan6, Rumah Sakit Simpang menjadi salah satu rumah sakit utama untuk menampung korban Pertempuran Surabaya. Hal ini sampai membuat kepala rumah sakit, dr. Soetopo, harus memindahkan pasien ke luar kota karena faktor keamanan dan minimnya tenaga medis.
Proses pemindahan yang dikepalai dr. Soewandhi ini pun berlangsung selama satu minggu. Sebelum memindahkan pasien, mereka mengungsikan peralatan dan obat-obatan menuju Kota Malang dan Jombang.
Setelah itu, pasien yang berjumlah kurang lebih 1000 pun dipencar ke beberapa wilayah, seperti Sidoarjo, Malang, Mojowarno, dan Jombang.
Dalam menangani pasien dan para korban pertempuran Surabaya, tenaga medis Rumah Sakit Simpang bekerja tanpa mengenal lelah. Meskipun sudah mengerahkan seluruh tenaganya, hal itu masih belum mampu menangani semua korban perang.
Pasalnya, dalam satu hari saja tenaga medis dapat menguburkan setidaknya 100 orang di halaman rumah sakit ini. Namun, terdapat arsip yang mengatakan kalau Prof. Sjaaf menyuruh pengubur untuk mengubur para korban di Taman Makam Pahlawan. Akhirnya, terjadi pembongkaran massal.
Baca juga: Mengenal KH Mustafa Kamil dan Julukan Kiai Jerajak dari Bung Karno
Jika ditilik pada masa kini, lokasi kuburan massal ini berada tepat di belakang Patung Suro dan Boyo yang berdiri di tepian Sungai Kalimas dan lahan parkir Plaza Surabaya. Namun, sebagai penanda tempat bersejarah, terdapat sebuah monumen kecil yang bertuliskan,