DIAKUI atau tidak, hasil ribuan riset baru nyaris tak lagi menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi seperti dulu. Hal itu membuat perlambatan atau bahkan stagnasi ilmiah semakin tak terhindarkan.
Tak sempurnanya siklus hidup ide-ide ilmiah menjadi penyebab melambatnya integrasi antara riset dan industri. Tanpa terasa, selama lima dekade terakhir, budaya kutipan (citation) menjadi cara paling dominan untuk mengevaluasi kontribusi ilmiah bagi ilmuwan.
Penekanan pada kutipan dalam pengukuran produktivitas ilmiah telah menggeser perilaku ilmuwan menjauh dari proses eksplorasi yang lebih mungkin gagal, tetapi bisa menjadi terobosan di masa depan. Di Indonesia, ide-ide cemerlang hanya tersimpan rapi di atas rak-rak perpustakaan.
Baca juga: Aktualisasi Semangat Sumpah Pemuda Para Periset Indonesia
Eksekusi riset yang begitu lemah karena harus berbenturan dengan politik atau dengan kepentingan kelompok tertentu. Ketika perhatian baik secara politik maupun finansial pada ide-ide baru menurun, saat itulah sains mengalami stagnasi.
Maka, tak ayal Indonesia sulit menemukan alternatif substitusi impor yang menjadi kunci untuk lepas dari kecanduan impor. Inilah yang menjadi tantangan riset sehingga berdampak pada penurunan produktivitas ilmiah.
Meskipun jumlah ilmuwan saat ini jauh lebih banyak daripada di masa lalu, kemajuan saat ini tidak sebanding dengan terobosan di masa lalu. Di daerah-daerah di mana kemajuan ilmiah masih sekuat di masa lalu, penemuan hari ini membutuhkan upaya penelitian berkali-kali lipat lebih besar dibanding dulu.
Bidang farmasi, misalnya, sekarang riset pengembangan obat menjadi dua kali lipat lebih mahal dibanding satu dekade lalu. Bahkan, selama perang melawan Covid-19, biaya produksi obat baru meningkat secara dramatis selama dekade terakhir tetapi masih berkisar antara 314 juta dolar AS hingga 2,8 miliar dolar AS per obat baru.
Rata-rata investasi research and development (R&D) yang diperlukan untuk membawa obat baru ke pasar menyentuh angka 1 miliar dolar AS, dengan rata-rata waktu 10 sampai 15 tahun untuk membawa obat baru ke pasar. Sekitar setengah dari waktu dan investasi ini dihabiskan selama fase uji klinis dari siklus pengembangan obat sementara setengah sisanya mencakup penemuan, pengujian, dan proses pengaturan senyawa praklinis.
Tingginya biaya untuk memasukkan obat baru ke pasar dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melakukannya telah melahirkan generasi skeptis di tengah masalah “lemon” pasar (The Lemons Problem) yang semakin tak menentu.
Tak mengherankan saat ini industri farmasi terkesan seperti lahan rent seeking bagi pencari keuntungan dengan mengesampingkan informasi simetris pasar. Situasi seperti ini disebut dalam hukum Eroom (Eroom’s Law) , konsep di mana biaya pengembangan obat baru meningkat secara eksponensial dalam beberapa dekade terakhir meskipun teknologi berkembang sangat pesat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.