Jika menengok tahun 90-an, saat itulah “gerakan” perempuan sebetulnya mulai menggeliat kuat, misalnya lewat kajian fikih perempuan yang dipelopori oleh Lies Marcoes. Wadah perempuan di PBNU yakni Fatayat dan Muslimat juga makin gencar membicarakan hal-hal yang dulu seolah tabu dibahas, seperti reproduksi perempuan.
Pusat Studi Wanita di perguruan-perguruan tinggi Islam se-Indonesia pun makin berkiprah. Tahun 2005, Rahima dengan PUP atau Pengkaderan Ulama Perempuan-nya mulai melebarkan sayap ke berbagai wilayah di Indonesia. Langkah-langkah tersebut kemudian membesar hingga tercetuslah KUPI.
Setelah KUPI-1 tahun 2017, KUPI telah dibahas di lebih dari 20 karya ilmiah/tesis/disertasi. KUPI-1 menelurkan hasil-hasil musyawarah tentang kekerasan seksual, pernikahan anak, kerusakan alam, dan radikalisme agama. Satu simpulan dalam musyawarah tentang kekerasan seksual, bahwa kekerasan seksual dalam segala bentuknya adalah haram, baik dilakukan di dalam perkawinan atau di luar perkawinan.
Pengabaian oleh negara dan masyarakat terhadap praktik kekerasan seksual bertentangan dengan Konstitusi RI. Negara dan masyarakat memiliki kewajiban menjamin pemenuhan hak-hak korban kekerasan seksual, karenanya pengabaian tugas ini dianggap sebagai kezaliman.
Sejumlah rekomendasi dari KUPI-1 kemudian disampaikan kepada pemangku-pemangku kepentingan, termasuk pemerintah. Satu produk yang telah terbit adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 Tahun 2022 yang merupakan kerja kolektif berbagai pihak: legislatif dan eksekutif, aktivis, pemikir, jurnalis, juga KUPI.
Proses untuk menggolkan UU tersebut sangat panjang, termasuk dengan serangkaian aksi turun ke jalan. Satu pelajaran yang dapat dipetik dari alotnya pembahasan mengenai keadilan gender adalah kesenjangan perspektif dan pemahaman, yang kadang-kadang tidak terkait dengan jenis kelamin.
Baca juga: 5 Isu Aktual Dibahas di Kongres Ulama Perempuan di Semarang, Salah Satunya Khitan Perempuan
Banyak laki-laki yang bahkan lebih peka gender, dan itu menegaskan pernyataan Jill Matthews (2002) bahwa kehadiran atau ketidakhadiran perempuan kadang-kadang bukan masalah, bahwa seseoang menjadi laki-laki atau perempuan bukan sesuatu yang paling penting. Meski demikian, saya rasa KUPI tetap penting untuk mengajak lebih banyak “laki-laki feminis” agar tidak hanya Kiai Husein Muhammad, Faqih Abdul Qadir, Helmi Ali, dan Lukman Hakim Saifuddin melulu.
Tema musyawarah keagamaan dalam KUPI-2 masih melanjutkan KUPI-1 yaitu pengelolaan sampah bagi keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan perempuan; peran perempuan dalam melindungi NKRI dari bahaya ekstremisme; perlindungan perempuan dari pemaksaan perkawinan; perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan; dan bahaya pemotongan dan pelukaan genetalia perempuan tanpa alasan medis. Tema terakhir, sejauh saya cermati di beberapa etnis, sebetulnya kini sudah jauh berkurang.
Pertemuan kerja-kerja jaringan makin turun ke bawah, ke jaringan komunitas dan majelis taklim. Semoga komunitas di akar rumput makin tersentuh.
Satu hal yang menonjol dari KUPI adalah kerja-kerja intelekual, lewat konferensi/seminar yang diikuti para aktivis dan akademisi maupun musyawarah keagamaan yang membahas hal-hal terkait nas (nash), dan oleh karena itu melibatkan ulama-ulama dan peserta aktif dari Ma’had Ali.
Seusai KUPI-1, saya mengira kongres hanya akan bergulat dalam ranah pemikiran-pemikiran yang menjadi terkesan elitis, kurang menyentuh akar rumput. Benar bahwa musyawarah-musyawarah telah menelurkan banyak rekomendasi strategis bagi pemerintah dan legislatif. Namun sifat rekomendasi yang tidak mengikat itu harus terus dikawal.
Soal perusakan lingkungan, misalnya, masih terus menjadi problematika rumit hingga kini dan kebijakan belum maksimal. Selain itu, sifat elitis kadang-kadang membuat orang kebanyakan merasa alergi, mengawang, terutama ketika muncul sejumlah nama aktivis elite yang “bermain” di tingkat elite atau akademisi dengan gelar berderet tetapi kurang membumi.
Lalu bagaimana seharusnya bisa menyentuh liqo’-liqo‘di tingkat bawah? Bagaimana menjamah masyarakat adat, misalnya? Bagaimana cara merangkul ibu-ibu buruh gendong?
Dibutuhkan jembatan yang luwes bermain di tingkat akar rumput. Akan tetapi, setelah lima tahun berlalu, apa yang tampak di KUPI-2 merupakan sebuah jawaban. Komunitas dan majelis taklim dilibatkan untuk kerja-kerja jaringan dalam halaqah refleksi, lalu ada KUPI muda.
KUPI-2 yang kepanitiaannya dinahkodai Nyai Masruchah ini juga menggelar bazar yang diikuti lebih dari 100 UMKM di Jepara serta menghimpun sejumlah perempuan dari desa wisata ukir, Desa Patekeyan Jepara, dalam program Perempuan Jepara Mengukir.