Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fayasy  Failaq
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM

Pemerhati Konstitusi

Geliat Resentralisasi pada Pemekaran Papua

Kompas.com - 26/11/2022, 12:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERTENGAHAN November ini, dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), muncul satu provinsi baru lagi di Indonesia, yakni Provinsi Papua Barat Daya. Ini merupakan provinsi baru keempat di Papua setelah tiga provinsi baru lainnya muncul dalam dua bulan terakhir. Tiga provinsi baru sebelumnya adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.

Pertanyaannya yang kemudian timbul adalah bagaimana bisa pemerintah pusat begitu leluasa memuluskan jalan pemekaran daerah di Papua? Pertanyaan terkait peran pemerintah pusat yang tampak dominan ini mencuat karena hal itu memperlihatkan sikap diskriminatif pemerintah pusat terhadap kepentingan daerah lain yang juga berhasrat untuk memekarkan diri.

Baca juga: Pemekaran Papua dan Pengabaian Aspirasi Masyarakat Adat

Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), semua daerah punya pintu masuk yang sama untuk memekarkan daerahnya, yaitu melalui usulan gubernur kepada pemerintah pusat, DPR RI atau DPD RI setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif.

Pemekaran dan desentralisasi

Sejak era reformasi dan segenap agenda amandemen UUD 1945, otonomi daerah melalui ide desentralisasi mencuat sebagai ide demokratisasi dari kekuasaan otoriter yang berjalan hingga tahun 1998. Desentralisasi terwujud pula dalam ide-ide pemekaran daerah yang sebelumnya melekat dengan pola top down yang sentralistik, kemudian menjelma menjadi bottom up.

Kita bisa melihat bukti sentralisasi pemekaran yang terjadi zaman orde baru yang hanya menghasilkan tiga provinsi pemekaran. Sementara sejak reformasi yang desentralistis, dalam satu tahun saja bisa membentuk empat provinsi baru.

Tujuan pemekaran daerah berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-VII/2009 adalah: “Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga diharapkan dapat meningkatkan pula kesejahteraan rakyat serta menumbuhkan efisiensi dan kemudahan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Pemekaran daerah seyogyanya bermula dari kesepakatan yang berisi aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan”.

Pemekaran daerah bukan tanpa tantangan. Secara politis hal itu tersusupi kepentingan-kepentingan elite politik lokal untuk berebut kekuasaan agar dapat menduduki pos-pos jabatan publik. Persoalan elitis itu yang lebih mendominasi ketimbang kepentingan masyarakat sendiri.

Baca juga: Pemekaran Papua: Membangun Kemandirian Daerah Otonom Baru

Kepentingan elite

Dafrin Muksin, dkk. tahun 2021 mengungkapkan data yang cukup mencengangkan terkait dominasi kepentingan elite lokal terhadap ide pemekaran provinsi di Papua. Data Dafrin Muksin, dkk, menungkapkan bahwa kepetingan elite lokal dalam ide pemekaran mencapai 29 persen, lebih banyak dari anasir lainnya.

Elite lokal tersebut berupa bupati, gubernur, anggota partai, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penelitian yang sama juga menunjukkan, peran pemuka adat hanya sebesar 12 persen, tokoh agama 4 persen dalam ide pemekaran. Sementara peran masyarakat sipil di angka 0 persen.

Temuan menarik lainnya adalah pada urutan kedua yang mendominasi justru kepentingan (pemerintah) pusat, sebesar 25 persen. Kepentingan pusat mencakup kepentingan anggota DPR RI, MPR RI, dan Kementerian. Di bawahnya adalah kepentingan Polri sebesar 20 persen.

Persentase yang besar itu menggambarkan adanya campur tangan pusat yang amat besar dalam eksekusi pemekaran daerah. Kepentingan pusat itu perlu dipertanyakan secara serius. Sebab, secara kasuistik pada aspirasi pemekaran pada daerah-daerah lain tidak disikapi dengan baik dan selancar sebagaimana empat provinsi baru di Papua.

Ngurah Suryawan, peneliti dari Universitas Papua, mengatakan, pemekaran di Pulau Papua hampir selalu melibatkan siasat dari elite lokal serta kepentingan elite Jakarta. Untuk memahami motif politik ini bisa dilihat dari dua aspek.

Pertama, gerrymander berupa kepentingan partai tertentu dalam kaitannya dengan kekuatan politik di Papua. Kedua, peluang bisnis dan investasi oleh segolongan elite yang dapat semakin terbuka dan berkembang.

Untuk semakin membuktikan data di atas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2003 membuat laporan penelitian terkait konflik dalam pemekaran di wilayah Papua yang menjelaskan bahwasanya terdapat relasi dan lobi politik elite lokal Papua yang berdomisili di Jawa terhadap sejumlah elite politik pusat di satu partai politik untuk mempercepat pemekaran wilayah Irian Jaya Barat kala itu. Motif ini bisa saja direpetisi dalam pemekaran wilayah di Papua kini.

Konflik sosial

Ada geliat kepentingan pemerintah pusat yang tergambarkan dalam upaya untuk memudahkan pemekaran daerah Papua melalui revisi UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua, tahun lalu. Pasal 76 UU a quo diubah ketentuan terkait pemekaran daerah yang semula “wajib” melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menjadi hanya bersifat “opsional”.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Es Teh Vs Teh Hangat, Mana yang Lebih Baik Diminum Saat Buka Puasa?

Es Teh Vs Teh Hangat, Mana yang Lebih Baik Diminum Saat Buka Puasa?

Tren
Berapa Lama Bumi Akan Gelap Saat Gerhana Matahari Total 8 April 2024?

Berapa Lama Bumi Akan Gelap Saat Gerhana Matahari Total 8 April 2024?

Tren
Alasan Timnas Amin Ingin Sri Mulyani dan Tri Rismaharini Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024

Alasan Timnas Amin Ingin Sri Mulyani dan Tri Rismaharini Dihadirkan dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024

Tren
Gunung Marapi Erupsi Lagi, Waspada Lontaran Batu Pijar di Radius 4,5 Kilometer

Gunung Marapi Erupsi Lagi, Waspada Lontaran Batu Pijar di Radius 4,5 Kilometer

Tren
Profil Nicole Shanahan, Cawapres AS yang Digandeng Robert F. Kennedy Jr

Profil Nicole Shanahan, Cawapres AS yang Digandeng Robert F. Kennedy Jr

Tren
Cara Cek NISN Online untuk Keperluan Pendaftaran UTBK SNBT 2024

Cara Cek NISN Online untuk Keperluan Pendaftaran UTBK SNBT 2024

Tren
Fakta Kasus Korupsi PT Timah, Seret Harvey Moeis dan 'Crazy Rich' PIK Helena Lim

Fakta Kasus Korupsi PT Timah, Seret Harvey Moeis dan "Crazy Rich" PIK Helena Lim

Tren
Han Kwang-Song, Mantan Pemain Juventus asal Korea Utara yang Pernah Hilang Misterius

Han Kwang-Song, Mantan Pemain Juventus asal Korea Utara yang Pernah Hilang Misterius

Tren
Apa Itu Karbohidrat? Berikut Pengertian, Jenis, dan Manfaatnya

Apa Itu Karbohidrat? Berikut Pengertian, Jenis, dan Manfaatnya

Tren
Profil PT Timah, Anak Perusahaan BUMN yang Terseret Korupsi Ratusan Triliun Rupiah

Profil PT Timah, Anak Perusahaan BUMN yang Terseret Korupsi Ratusan Triliun Rupiah

Tren
Duduk Perkara Kasus Korupsi Timah Ilegal yang Menyeret Harvey Moeis

Duduk Perkara Kasus Korupsi Timah Ilegal yang Menyeret Harvey Moeis

Tren
6 Alasan Tidak Dianjurkan Minum Es Teh Manis Saat Berbuka Puasa

6 Alasan Tidak Dianjurkan Minum Es Teh Manis Saat Berbuka Puasa

Tren
Tambang Emas di Liberia Runtuh, 13 Tewas dan 25 Lainnya Masih Terjebak

Tambang Emas di Liberia Runtuh, 13 Tewas dan 25 Lainnya Masih Terjebak

Tren
Daftar 16 Tersangka Kasus Korupsi Timah Ilegal, Terbaru Harvey Moeis

Daftar 16 Tersangka Kasus Korupsi Timah Ilegal, Terbaru Harvey Moeis

Tren
Rincian Tarif Listrik PLN yang Berlaku mulai 1 April 2024

Rincian Tarif Listrik PLN yang Berlaku mulai 1 April 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com