PERTENGAHAN November ini, dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), muncul satu provinsi baru lagi di Indonesia, yakni Provinsi Papua Barat Daya. Ini merupakan provinsi baru keempat di Papua setelah tiga provinsi baru lainnya muncul dalam dua bulan terakhir. Tiga provinsi baru sebelumnya adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Pertanyaannya yang kemudian timbul adalah bagaimana bisa pemerintah pusat begitu leluasa memuluskan jalan pemekaran daerah di Papua? Pertanyaan terkait peran pemerintah pusat yang tampak dominan ini mencuat karena hal itu memperlihatkan sikap diskriminatif pemerintah pusat terhadap kepentingan daerah lain yang juga berhasrat untuk memekarkan diri.
Baca juga: Pemekaran Papua dan Pengabaian Aspirasi Masyarakat Adat
Berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), semua daerah punya pintu masuk yang sama untuk memekarkan daerahnya, yaitu melalui usulan gubernur kepada pemerintah pusat, DPR RI atau DPD RI setelah memenuhi persyaratan dasar kewilayahan dan persyaratan administratif.
Sejak era reformasi dan segenap agenda amandemen UUD 1945, otonomi daerah melalui ide desentralisasi mencuat sebagai ide demokratisasi dari kekuasaan otoriter yang berjalan hingga tahun 1998. Desentralisasi terwujud pula dalam ide-ide pemekaran daerah yang sebelumnya melekat dengan pola top down yang sentralistik, kemudian menjelma menjadi bottom up.
Kita bisa melihat bukti sentralisasi pemekaran yang terjadi zaman orde baru yang hanya menghasilkan tiga provinsi pemekaran. Sementara sejak reformasi yang desentralistis, dalam satu tahun saja bisa membentuk empat provinsi baru.
Tujuan pemekaran daerah berdasarkan Putusan MK Nomor 18/PUU-VII/2009 adalah: “Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga diharapkan dapat meningkatkan pula kesejahteraan rakyat serta menumbuhkan efisiensi dan kemudahan dalam pelayanan terhadap masyarakat. Pemekaran daerah seyogyanya bermula dari kesepakatan yang berisi aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan”.
Pemekaran daerah bukan tanpa tantangan. Secara politis hal itu tersusupi kepentingan-kepentingan elite politik lokal untuk berebut kekuasaan agar dapat menduduki pos-pos jabatan publik. Persoalan elitis itu yang lebih mendominasi ketimbang kepentingan masyarakat sendiri.
Baca juga: Pemekaran Papua: Membangun Kemandirian Daerah Otonom Baru
Dafrin Muksin, dkk. tahun 2021 mengungkapkan data yang cukup mencengangkan terkait dominasi kepentingan elite lokal terhadap ide pemekaran provinsi di Papua. Data Dafrin Muksin, dkk, menungkapkan bahwa kepetingan elite lokal dalam ide pemekaran mencapai 29 persen, lebih banyak dari anasir lainnya.
Elite lokal tersebut berupa bupati, gubernur, anggota partai, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penelitian yang sama juga menunjukkan, peran pemuka adat hanya sebesar 12 persen, tokoh agama 4 persen dalam ide pemekaran. Sementara peran masyarakat sipil di angka 0 persen.
Temuan menarik lainnya adalah pada urutan kedua yang mendominasi justru kepentingan (pemerintah) pusat, sebesar 25 persen. Kepentingan pusat mencakup kepentingan anggota DPR RI, MPR RI, dan Kementerian. Di bawahnya adalah kepentingan Polri sebesar 20 persen.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.