Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pascal Wilmar Yehezkiel
Pemerhati Hukum

Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan FH UGM

Regresi Demokrasi di Tengah Perhelatan G20

Kompas.com - 15/11/2022, 12:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PEMERINTAH memperlihatkan sikap non-demokratis  dalam berbagai kebijakannya terkait pelaksanaan G20 pada tanggal 15 dan 16 November 2022 di Bali.

Pemerintah misalnya mengeluarkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyaraka (PPKM) pada kondisi corona virus disease 2019 (Covid-19) di wilayah Jawa dan Bali melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2022 pada 8 November 2022. Kebijakan itu berlaku sampai tanggal 21 November 2022.

PPKM pada dasarnya merupakan instrumen hukum pemerintah untuk membatasi ruang sosial masyarakat dalam rangka penanganan Covid-19. Namun belakangan, kebijakan PPKM terkesan memiliki maksud lain, bukan berpijak pada situasi dan kondisi perkembangan Covid-19 secara komprehensif, tetapi didasarkan pada kepentingan pemerintah dan meredam aktivitas kritis masyarakat terhadap agenda pemerintah.

Baca juga: Aturan Lengkap PPKM Level 1 Jawa-Bali yang Berlaku hingga 21 November

Hal tersebut dapat dilacak pada riwayat penerapan kebijakan PPKM sebelumnya, yakni pada momentum konsolidasi masyarakat sipil dalam mengkritisi proses legislasi RKUHP dan kebijakan kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) lewat aksi demonstrasi.

Pola yang sama dilakukan Pemerintah Provinsi Bali dengan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 35425 Tahun 2022 tentang PPKM Dalam Penyelenggaraan Presidensi G20, dengan dalil agar kegiatan bejalan lancar,nyaman, aman, damai, dan sukses sebagaimana tertulis pada bagian pertimbangannya.

Kebijakan itu terkesan menjadi instrumen pemerintah untuk membatasi ruang-ruang demokratis masyarakat untuk menyikapi agenda G20 dan  hak menyampaikan pendapat di muka umum sebagai hak asasi yang dijamin konstitusi.

Bahkan, Surat Edaran Gubernur Bali itu menetapkan pembatasan terhadap upacara adat dan keagamaan. Padahal, menurut Pasal 28I ayat (1) UUD, hak beragama, dalam hal ini kebebasan menjalankan peribadatan adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights).

Praktik administrasi pemerintahan semacam itu tidak sejalan dengan amanat UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada Pasal 5 huruf b yang menegaskan penyelenggaraan administrasi pemerintahan didasarkan pada asas perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam penjelasan Pasal 5 huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “asas perlindungan terhadap hak asasi manusia” adalah bahwa penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak boleh melanggar hak-hak dasar warga masyarakat sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kebijakan hukum yang tidak berpihak pada perlindungan HAM tersebut, menunjukan pemerintahan melenceng dari prinsip negara hukum yang demokratis karena kerap menggunakan hukum hanya sebagai instrumen pembenaran tindakan pemerintah atau bersifat positivis instrumentalis.

Philippe Nonet dan Philip Zelsnick (1978) menyatakan, hukum sebagai pelayan kekuasaan represif adalah situasi yang terburuk, melahirkan hukum represif yaitu hukum yang bertujuan mempertahankan kepentingan penguasa, yang kerapkali diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban.

Baca juga: Mewakili Asia Tenggara, Mengapa Indonesia Bisa Menjadi Anggota G20?

Karena hukum merupakan alat penguasa, maka dalam geraknya aturan-aturan hukum tidak mengikat penguasa sebagai pembuatnya, dan kekuasaan menempati posisi di atas hukum. Sebaliknya, hukum berfungsi mengendalikan seluruh aspek kehidupan rakyat yang dirancang secara sentral untuk menciptakan, melaksanakan, serta memperkuat kontrol terhadap segenap kegiatan masyarakat.

Selain itu hukum represif berkarakter anti terhadap partisipasi masyarakat dan kritik dipahami sebagai pembangkangan. Sebagai negara yang berlandaskan kedaulatan rakyat, seharusnya kebijakan hukum bersifat responsif. 

Pembungkaman demokrasi

Sebagai forum yang menentukan nasib rakyat, maka penting bahwa partisipasi masyarakat diakomodasi di Forum G20. Namun pada kenyataanya, negara membatasi ruang-ruang demokratis rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang dijamin konstitusi.

Hal tersebut terlihat dengan adanya berbagai kebijakan pembatasan berlebihan terhadap kegiatan masyarakat lewat PPKM, pengadangan, dan intimidasi, misalnya, kepada tim pesepeda Greenpeace di Jawa dan kegiatan YLBHI di Bali.

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com