Oleh: Zen Wisa Sartre dan Fandhi Gautama
KOMPAS.com - “Di negeri ini,” kata Gus Dur, "cuma ada tiga polisi jujur. Pertama, patung polisi. Kedua, polisi tidur, dan ketiga, polisi Hoegeng.”
Bisa dikatakan, Hoegeng sudah seharusnya menjadi simbol kepolisian. Sayangnya, Hoegeng lebih sering muncul pada celotehan Gus Dur di kala peran polisi dipertanyakan.
Layaknya saat ini, di saat kasus kematian Brigadir J terkuak dan muncul desas-desus baru, yaitu Irjen. Ferdy Sambo diduga terlibat bisnis perjudian.
Aiman Witjaksono, Jurnalis KompasTV, dalam siniarnya bertajuk “Kasus Ferdy Sambo dan Keberadaan Perjudian di Indonesia” memaparkan dunia bisnis perjudian dengan segala kompleksitasnya.
Sebenarnya, kenapa dan ada apa? Kasus kematian Brigadir J seperti bermain kucing-kucingan dengan masyarakat dan bahkan, orangtua Brigadir J merasa lelah. Mungkin terpikirkan untuk menyiram kucing-kucing itu agar cepat selesai.
“Karena di kepolisian tidak bergerak atau sangat lamban. Pak Samuel di hari Sabtu kemarin mengatakan ‘sudah cukuplah, toh anak saya sudah tidak bisa hidup kembali,’” kata Kamaruddin selaku pengacara Brigadir J, dikutip dari KompasTV, Selasa (20/9/2022).
Jika pengurusan kasus berjalan lamban dan seakan-akan tidak ada titik terang, bukan tidak mungkin akan melukai nilai dan moral.
Bukan sekali dua kali Indonesia menderita kasus pembunuhan dan korupsi yang pelakunya adalah polisi atau dari pihak pemerintahan. Tidak jarang juga masyarakat kerap mendengungkan “apabila pelakunya adalah polisi, kita harus lapor siapa?”
Baca juga: Sekaratnya Rasa Kemanusiaan di Indonesia
Tak heran, pelaku tindak kriminal dan kejahatan, khususnya bidang korupsi dan pelanggaran HAM, seperti tidak pernah takut dan segan menghadapi penegak keadilan. Itulah mengapa, kerap muncul berita lama, tetapi dengan nama dan wajah baru yang terus berulang tanpa sungguh-sungguh ditangani dan diselesaikan.
Haruskah kita kembali kepada hukum berbalas? Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Tentu, bukan itu jawabannya dan akan ditolak habis-habisan karena tidak sesuai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Sayangnya, konsep yang seperti itu membutuhkan kekerasan dan tidaklah bijaksana apabila kita panggil dengan sebutan yang adiluhur dan agung, yaitu keadilan.
Namun, akan sampai kapan masyarakat terus dibiarkan menunggu? Jangan sampai kasus ini hilang dan menguap karena adanya pengalihan isu.
Biarkan kasus ini terus menjadi sorot perhatian segala elemen masyarakat. Dari obrolan ibu-ibu perumahan hingga tingkat pemerintahan. Meskipun, dalam obrolan itu akan mengundang keluhan dan kadang terpaksa mengikuti peruntungan karena adanya ketidakpastian.
Hoegeng dilantik Presiden Soeharto menjadi Kapolri pada 1968, namun bukan berarti dalam hubungannya tidak ada pasang-surut.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.