KOMPAS.com - PT Pertamina (Persero) mencatat konsumsi Pertalite hingga Juli 2022 telah mencapai 16,8 juta dari 23 juta kiloliter yang disediakan tahun ini.
Sementara konsumsi Solar sudah mencapai 9,9 juta kiloliter dari kuota 14,9 juta kiloliter.
Dengan kondisi ini, kuota BBM subsidi di Indonesia hanya tersisa 6,2 juta kiloliter untuk Pertalite dan 5 juta kiloliter untuk Solar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun meminta agar Pertamina mengendalikan BBM bersubsidi, sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurutnya, pemerintah sejauh ini telah menggelontorkan dana sebesar Rp 502 triliun untuk subsidi energi, termasuk BBM, dan listrik.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Bansos Rp 18 T Jika Harga BBM dan Listrik Naik
Menanggapi hal itu, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, pemerintah saat ini menghadapi dilema yang sulit.
Di satu sisi, kelangkaan akan terjadi di berbagai SPBU apabila pemerintah tidak menambah kuota BBM subsidi.
Namun, penambahan kuota BBM subsidi di sisi lain dapat mengakibatkan beban APBN membengkak hingga melebihi Rp 600 triliun.
Mengamini perkataan Sri Mulyani, Fahmy menilai perlu adanya upaya serius dalam pembatasan BBM bersubsidi.
"Kalau upaya pembatasan konsumsi Pertalite tidak berhasil, kuota BBM subsidi pasti jebol paling lama pada akhir Oktober 2022," kata Fahmy kepada Kompas.com, Jumat (12/8/2022).
Baca juga: Bahlil: Kita Harus Siap-siap kalau Terjadi Kenaikan Harga BBM
Di tengah kondisi ini, ia menyoroti Menteri Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) Arifin Tasrif yang hanya mengimbau orang kaya untuk tidak menggunakan BBM subsidi.
Padahal, Fahmy menyebut kosumen adalah makhluk rasional yang mempunyai price elasticity untuk tetap mengonsumsi BBM dengan harga lebih murah selama belum ada larangan.
"Menteri ESDM melupakan tabung elpiji 3 kilogram tertulis 'hanya untuk orang miskin'. Faktanya, lebih 60 persen kosumen yang bukan miskin tetap mengkonsumsi gas melon karena distribusi terbuka," jelas dia.
"Hanya pembatasan yang tegas dan lugas yang dapat mencegah jebolnya kuota BBM subsidi," kata dia.
Dalam hal ini, Fahmy menilai kebijakan MyPertamina bukan solusi yang tegas untuk pembatasan BBM subsidi.
Bahkan, hal itu justru menimbulkan ketidaktepatan sasaran dan ketidakadilan bagi konsumen yang tidak punya akses.
Baca juga: Sri Mulyani Minta Pertamina Kendalikan BBM Subsidi Pertalite-Solar agar APBN Tidak Jebol
Untuk itu, ia menyarankan dua kebijakan untuk mencegah jebolnya BBM bersubsidi.
"Pertama, tetapkan segera dalam Perpres bahwa hanya sepeda motor dan kendaraan angkutan orang dan angkutan barang yang diperbolehkan menggunakan Pertalite dan Solar," ujarnya.
Kedua, pemerintah perlu menurunkan disparitas antara harga Pertamax dan Pertalite.
Hal ini dilakukan dengan cara menaikkan harga Pertalite dan menurunkan harga Pertamax secara bersamaan, sehingga selisih maksimal harga sebesar Rp 1.500 per liter.
Menurutnya, kebijakan harga ini akan mendorong konsumen Pertalite migrasi ke Pertamax secara suka rela.
"Perlu juga dilakukan komunikasi publik secara besar-besaran bahwa penggunaan Pertamax sesungguhnya lebih baik untuk mesin kendaraan dan lebih irit," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.