KOMPAS.com - Gletser di tepi Antartika menumpahkan gunung es lebih cepat daripada kemampuan alam menggantinya kembali.
Dilansir dari Reuters, Rabu (10/8/2022), satelit menunjukkan, dalam 25 tahun terakhir kecepatan lelehan es lapisan terbesar di dunia itu naik dua kali lipat.
Studi pertama dalam bidang ini yang dipimpin peneliti dari Jet Propulsion Laboratory (JPL) NASA dipublikasikan dalam jurnal Nature.
Hasil penelitian menimbulkan kekhawatiran baru tentang seberapa cepat pemanasan global menipiskan es Antartika dan menaikkan permukaan air laut.
Penelitian ini menemukan bahwa jumlah es pada gletser Antartika yang pecah lalu kembali ke laut hampir sama banyaknya dengan es yang meleleh karena penipisan dari bawah yang disebabkan memanasnya air laut.
Baca juga: Gunung Es Sebesar Kota London Runtuh dari Lapisan Es Antartika
Analisis menyimpulkan, sejak 1997 penipisan dan pembelahan mengurangi massa es Antartika sebanyak 12 triliun ton. Hal ini adalah dua kali lipat dibandingkan perkiraan sebelumnya.
Ilmuwan JPL Chad Greene dalam penelitiannya mengatakan, bongkahan es yang hilang karena pecah pada seperampat abad terakhir mencakup hampir 37.000 kilometer persegi, nyaris seluas Swiss.
"Tepi Antartika runtuh, dan ketika bongkahan es melemah dan menyusut, gletser besar di benua itu akan meningkatkan dan mempercepat kenaikan permukaan air laut," katanya dalam temuan NASA itu.
Ia mengatakan, konsekuensinya bisa sangat besar. Antartika menahan 88 persen potensi permukaan air laut di seluruh daratan es.
Bongkahan yang menempel di daratan es yang mengapung permanen di air beku membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terbentuk.
Baca juga: Gunung Es Sebesar Kota London Runtuh dari Lapisan Es Antartika
Bongkahan itu bertindak seperti penopang, yang jika tidak ada maka semuanya akan dapat masuk ke air laut dengan cepat dan kemudian menaikkan permukaan air laut.
Ketika lapisan es stabil, siklus bongkahan itu pecah dalam jangka panjang dan terbentuk kembali ke ukuran sebelumnya, dengan konstan.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, air laut yang menghangat memperlemah bongkahan dari bawah.
Fenomena ini sebelumnya didokumentasikan satelit altimeter yang mengukur perubahan ketinggian es dan menunjukkan kerugian rata-rata 149 juta ton per tahun dari 2002 hingga 2020, menurut NASA.
Tim peneliti Green mensintesis citra satelit dari panjang gelombang infra-merah yang terlihat dan radar untuk memetakan aliran gletser dan pecahan sejak 1997 dengan lebih akurat dari sebelumnya pada 50.000 kilometer pinggir Antartika.
Baca juga: Sejarah Kelam Penerbangan Selandia Baru, Pesawat Tabrak Gunung di Antartika
Para peneliti menemukan bahwa Antartika tidak mungkin dapat kembali ke tingkat gletser pra-2000 pada akhir abad ini.
Pelepasan glasial yang dipercepat, seperti penipisan es, paling menonjol di Antartika Barat, daerah yang terkena dampak lebih parah oleh arus laut yang memanas.
Eric Wolff, seorang profesor riset Royal Society di University of Cambridge, menunjukkan analisis studi tentang bagaimana lapisan es Antartika Timur berperilaku selama periode hangat di masa lalu dan model apa yang mungkin terjadi di masa depan.
"Kabar baiknya adalah jika kita mempertahankan 2 derajat pemanasan global yang dijanjikan perjanjian Paris, kenaikan permukaan laut akibat lapisan es Antartika Timur seharusnya tidak terlalu tinggi," tulis Wolff dalam komentarnya pada studi JPL.
Ia mengatakan, kegagalan untuk mengekang emisi gas rumah kaca, bagaimana pun akan berisiko berkontribusi pada kenaikan permukaan laut beberapa meter selama beberapa abad mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.