Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Suryodarsono
Tentara Nasional Indonesia

Indonesian Air Force Officer, and International Relations Enthusiast

Ketika Berita Media "Online" Cuma Asal Viral

Kompas.com - 10/08/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERITA di media-media online saat ini sedikit unik. Suatu siang, ketika sedang iseng melakukan scrolling di media online, saya menemukan judul berita yang menarik perhatian, yaitu tentang uji terbang pesawat KF-21 Boramae. KF-21 adalah proyek pesawat tempur hasil kolaborasi pemerintah Indonesia dengan Korea Selatan.

Alangkah terkejutnya saya ketika berita tersebut menyebutkan bahwa kecepatan pesawat KF-21 mampu menembus 22 ribu kilometer/jam. Sontak saya mengernyitkan dahi dan bertanya dalam hati: apa mungkin kecepatan pesawat itu bisa 11 kali lebih cepat dari F-16 atau pun pesawat tempur pada umumnya? Mesin macam apa yang digunakan di pesawat itu?

Setelah saya menelaah lebih jauh, rata-rata kecepatan pesawat tempur ternyata memang hanya mampu menembus sekitar 2.000 km/jam. Begitu mengetahui adanya kekeliruan dalam artikel itu, saya yang merupakan seorang perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU), tertawa sekaligus terheran-heran.

Baca juga: 5 Fungsi Pers sebagai Media Massa

Ketika sedang membuka berita di media online, tidak jarang pula saya menemukan berbagai clickbait ataupun unsur-unsur provokatif tertentu di dalam judul suatu artikel. Penggunaan kata di awal artikel seperti “Viral!”, “Memanas!”, “Resmi!”, ataupun kata-kata yang sedikit mengundang gelak tawa seperti “Buset!”, “Heboh!”, bahkan “Bikin Ngiler!” terkadang seperti membuat kita semakin penasaran dengan isi dari beritanya.

Namun, alangkah kecewanya apabila judul yang diberikan tidak sesuai dengan isi artikel atau berita. Isi berita di media online tak jarang hanya menampilkan pemberitaan kurang bermutu seperti kehidupan pribadi, respon public figure yang tidak relevan dalam mengomentari suatu isu, konten iklan yang terlalu dominan, ataupun kebiasaan selebgram yang tengah viral di media sosial.

Banyak portal berita online mengesampingkan objektivitas demi kehebohan, dengan menurunkan berita tentang popularitas serta menyerang pihak maupun lembaga tertentu. Biasanya, hal ini terjadi di tahun-tahun kompetisi elektoral, dan menjadi salah satu penyebab terjadinya polarisasi di masyarakat.

Biasnya pemberitaan terkadang berasal dari subjektivitas jurnalis itu sendiri, ataupun campur tanganstakeholder media, yang sudah menjadi rahasia umum, berafiliasi dengan kekuatan aktor politik tertentu. Penguasaan media dapat dimanfaatkan oleh para politisi untuk meraih tujuan elektoralnya dalam sebuah kontestasi.

Saya mulai mempertanyakan kualitas berita yang dimuat di media online. Fenomena ini perlu menjadi perhatian, karena menyangkut kualitas jurnalisme nasional dan media massa konvensional secara umum.

Di era informasi saat ini, media massa yang seharusnya menyajikan informasi berkualitas dan sebagai wadah demokrasi di masyarakat, justru terlihat mengalami downgrade, penurunan mutu, bahkan cenderung bias.

Market-driven journalism

Mengapa hal ini bisa terjadi? Selain faktor profesionalisme jurnalis, kapitalisasi yang kuat di industri media dapat melahirkan sebuah praktik jurnalisme yang dikendalikan oleh preferensi pasar, atau yang lebih dikenal dengan sebutan market-driven journalism.

Market-driven journalism merupakan praktik jurnalisme yang mengikuti logika pasar guna menciptakan lingkungan yang mengarah pada komersialisasi. Dalam market-driven journalism, audience lebih terlihat sebagai customer, dibandingkan sebagai citizen.

Dibandingkan dengan perannya sebagai pelayan publik dalam menyediakan informasi, media massa kini lebih ditujukan untuk menghasilkan uang, dan melayani kebutuhan iklan. Pada akhirnya, hal ini hanya akan menghasilkan junk news, yaitu berita-berita dengan kualitas buruk tetapi dapat menarik pembaca dengan jumlah besar, selayaknya junk food yang merupakan selera publik secara global tetapi dibuat dari bahan-bahan berkualitas rendah.

Liputan yang seharusnya menyediakan dan menganalisis isu-isu tertentu, justru malah menyentuh kebutuhan serta keinginan personal masyarakat.

Dalam kaitannya dengan tatanan neoliberalisme saat ini, jika perspektif ekonomi politik digunakan dalam pers dengan menekankan kombinasi antara preferensi masyarakat, relasi kekuasaan, dan konten dari media itu sendiri, maka hal ini akan turut mendorong terjadinya krisis demokrasi.

Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Media Online

Selain itu, segmentasi demi viralnya sebuah produk jurnalistik akan mengakibatkan sekelompok individu merasa diutamakan dan yang lain cenderung terpinggirkan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan, serta dapat mengubah sebagian masyarakat menjadi apolitis bahkan apatis.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com