KOMPAS.com - Fenomena "Citayam Fashion Week" di kawasan Jalan Sudirman, DKI Jakarta, masih menarik perhatian masyarakat.
Fenomena ini bermula dari muda-mudi yang mayoritas berasal dari daerah penyangga Jakarta seperti Depok, serta Citayam dan Bojong Gede, Kabupaten Bogor.
Mereka memenuhi kawasan bisnis SCBD dengan gaya busana nyentik dan dominasi warna monokrom.
Bahkan kini, tak sedikit yang menyebut kawasan bisnis SCBD bukan lagi merujuk Sudirman Central Business District, melainkan Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.
Lantas, bagaimana sosiolog memandang fenomena ini?
Baca juga: Mengenal SCBD dan Fenomena Citayam Fashion Week
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dr Drajat Tri Kartono mengungkapkan, Citayam Fasion Week merupakan salah satu bentuk kreativitas yang disebut dengan fashion.
"Street fashion ini memang merupakan gejala yang muncul di berbagai dunia, di Jepang, itu juga ramai di Korea, bahkan di negara-negara Amerika dan Eropa," kata Drajat kepada Kompas.com, Senin (18/7/2022).
Menurutnya, street fashion adalah salah satu cara anak-anak muda untuk menonjolkan identitas dirinya.
Dengan street fashion, mereka akan menarik perhatian, menghimpun kumpulan orang, serta membuat orang-orang mengakui dirinya.
Tak hanya bentuk kreativitas, kerumunan atau crowd yang berhasil dihimpun oleh fenomena Citayam Fashion Week juga bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal oleh masyarakat.
"Nanti crowd itu bisa dimanfaatkan untuk macam-macam, termasuk para artis dan industri fashion," tutur Drajat.
Baca juga: Respons Fenomena Citayam Fashion Week, Pemkot Depok Ingin Trotoar Margonda Diperlebar Jadi 4 Meter
Drajat memandang, fenomena Citayam Fashion Week sebagai urban subversif atau subversif perkotaan.
"Subversif di sini dalam artian bahwa ada inisiatif, kreativitas, dan langkah nyata dari masyarakat yang tidak mendapatkan akses pada kebutuhan yang dibutuhkan," jelas Drajat.
Lebih lanjut, ia menyampaikan, masyarakat membutuhkan pakaian yang bagus dan diakui. Namun, tak semua pakaian tersebut bisa didapat dengan harga terjangkau.
Beberapa masyarakat juga memiliki keinginan untuk mengikuti ajang mode seperti fashion show.
Sayangnya, sebagian besar ajang mode dibuat secara selektif, sehingga tidak semua orang bisa mengikutinya.
"Sehingga kemudian muncullah kreativitas-kreativitas dari yang memiliki kebutuhan, tapi tidak memiliki akses di situ," ungkap Drajat.
"Kreativitas ini yang kemudian berkembang di jalan. Urban subversif itu berkembang di jalan, kemudian muncullah tampilan seperti Citayam (Fashion Week) ini," lanjut dia.
Baca juga: Saat Citayam Fashion Week Jadi Magnet bagi Model Profesional...
Menurut Drajat, perkembangan kreativitas yang tertuang dalam Citayam Fashion Week berada di tangan pemerintah setempat.
Pemerintah memiliki pilihan untuk menerima dan memfasilitasi kreativitas ini sebagai bagian dari urban subversif, atau menganggapnya sebagai gangguan terhadap keindahan dan ketertiban kota.
"Kalau itu tidak (diterima), maka akan ada masalah-masalah terkait dengan penertiban dan masalah kota tadi," ujarnya.
Sebaliknya, jika kreativitas ini diterima dan mendapat fasilitas, maka bisa menjadi ruang publik tempat berkumpulnya para remaja dengan busana khas.
"Dan di samping lain juga mulai menciptakan ekonomi-ekonomi kecil yang tumbuh di situ," imbuh Drajat.
Lebih lanjut Drajat mencontohkan, fenomena serupa yang dapat dikatakan sukses, yakni penampilan anak-anak punk.
Ia menjelaskan, anak-anak punk menampilkan gaya berbusana dan rambut yang nyentrik serta unik.
Namun, satu ciri khas dari anak-anak punk yang kemudian menjadi tren dunia, yakni pakaian ketat.
"Jeans ketat dari anak-anak punk. Jeans ketat itu melambangkan sebuah kemandirian, kerja, dan gerakan yang cepat. Itu kemudian diadopsi dan ternyata bisa menjadi tren fashion," terang Drajat.
Baca juga: Kala Citayam Fashion Week Digelar di Dukuh Atas...
Adapun, jika Citayam Fashion Week mendapat dukungan, seiring berjalannya waktu, fenomena serupa bisa tumbuh dan menjamur di kota-kota lain.
"Hadirnya kreativitas ini kemungkinan akan muncul beberapa titik di Jakarta atau di pinggiran Jakarta," ujar dia.
Saat ini terjadi, tak menutup kemungkinan akan memantik ekonomi, salah satunya dengan semakin ramainya bisnis jual beli pakaian bekas atau yang populer dengan sebutan thrift shop.
"Ini akan saling support, saling mendukung di situ. Inilah yang akan berkembang, thrift shop ya istilahnya," papar Drajat.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.