SAYA menelusuri trik Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengumpulkan donasi. Pertanyaan pertama adalah apakah ada unsur pidana pada taktik yang digunakan ACT dalam menjalankan lembaganya yang bergerak di bidang kemanusiaan? Ini menjadi pertanyaan mendasar. Saya mendapatkan dugaan tersebut dari sebuah warung nasi Tegal (warteg) di Kawasan Jakarta Timur.
Kok, bisa dari warteg? Perjalanan saya dimulai dari pemilik warteg di Jalan Otto Iskandar Dinata (Otista), Jakarta Timur. Di sini saya menemui pemilik warteg sekaligus Ketua Komunitas Warteg Nusantara, Mukroni.
Saya ajak Mukroni bercerita tentang dua tahun terakhir, saat awal sekali pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Ia menceritakan bahwa ada pihak ACT yang datang kepadanya untuk menawarkan kerja sama terkait program bantuan nasi bungkus gratis. Warteg anggota Komunitas Warteg Nusantara, sebanyak seribu warteg, diminta untuk menyediakan nasi bungkus. Setiap warteg (sebanyak 1.000 warteg) akan ditransfer Rp 1,5 juta per hari untuk menyediakan masing-masing 100 nasi bungkus.
Baca juga: Massa Geruduk Kantor ACT Jatim, Minta Aktivitas Penggalangan Dana Dihentikan
"Adakah syaratnya?" tanya saya kepada Mukroni.
"Ada, pertama setiap warteg harus memasang dua spanduk ACT. Kedua setidaknya 10 nasi bungkus pada setiap warteg harus didokumentasikan saat pemberian kepada fakir-miskin, lalu saya diundang datang ke kantor ACT di Cilandak, Jakarta Selatan, untuk difoto terkait kerja sama dengan 1.000 warteg se-Jabodetabek ini," ungkap Mukroni di Program AIMAN KompasTV.
Yang janggal, bantuan ini hanya diberikan satu bulan, yakni sejak pertengahan Maret hingga persis pertengahan April 2020. Tentu ini menyisakan pertanyaan. Mengapa hanya satu bulan, bukankah kesulitan Indonesia saat Covid-19 tahun 2020 terjadi di triwulan kedua hingga keempat, di mana terjadi resesi ekonomi kala itu. Indikator pertumbuhan ekonomi Indonesia pada ketiga triwulan tersebut negatif, yang berarti terjadi resesi ekonomi.
Dampaknya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi, bahkan jumlahnya mencapai 20 kali lebih tinggi dari tahun sebelumnya (2019). Pengangguran bertambah dan kemiskinan otomatis juga meningkat.
Tetapi justru di masa-masa sulit ini, bantuan tak kunjung datang, sementara semua dokumentasi foto dan spanduk terus terpampang.
"Saya jadi merasa diperalat, saya baru sadar ketika ada rame-rame soal ACT ini!" kata Mukroni kepada saya.
Saya temukan bahwa sekitar enam bulan pertama petugas ACT yang bertugas mengambil uang isi kotak sumbangan ini berjalan mulus. Setiap bulan isi kotak amal ada sekitar Rp 100 ribu. Jadi kalau ada sekitar 1.000 warteg dan hasilnya dipukul rata, artinya sebulan bisa dapat Rp 100 juta.
Baca juga: Pemeriksaan Maraton Petinggi ACT, Temuan Pemotongan Dana, dan Perusahaan Cangkang
Setelah enam bulan, si petugas yang mengambil kotak sumbangan konon mengaku mengundurkan diri dan bercerita kepada Mukroni. Anehnya, kotak sumbangan dibiarkan hingga tahun 2022 ini, tak pernah diambil lagi!
Pertanyaannya, kok tidak dicari oleh ACT? Ke mana uang selama enam bulan saat masih ada petugas, apakah benar disetorkan ke ACT untuk dikelola atau lari ke mana?
Pertanyaan yang masih misterius jawabannya!
Sayangnya, saya datang ke kantor ACT di Menara 165 Kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, saya tidak diberi akses untuk wawancara dengan pimpinan maupun juru bicaranya. Demikian pula dengan telepon tak kunjung dibalas. Hanya diberikan jawaban via Whatsapp yang pada intinya tidak bersedia untuk diwawancara.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.