KOMPAS.com - Hari raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan kurban bagi umat Islam yang mampu menunaikannya.
Itulah mengapa Idul Adha juga disebut dengan hari raya Kurban.
Bukan hanya itu saja, istilah Idul Adha juga kerap kali disebut dengan Lebaran Haji.
Baca juga: Bolehkah Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal?
Mengapa demikian dan bagaimana sejarah Idul Adha hingga mendapat nama lain sebagai hari raya Kurban dan Lebaran Haji?
Dilansir dari laman Nahdlatul Ulama (NU), perintah berkurban bagi yang mampu bermula dari kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, dalam menunaikan perintah Allah.
Saat Nabi Ismail beranjak remaja, Nabi Ibrahim bermimpi mengorbankan putra kesayangannya untuk disembelih.
Nabi Ismail sendiri merupakan anak pertama Nabi Ibrahim yang lahir setelah penantian panjang.
Nabi Ibrahim pun bingung menyikapi mimpinya. Namun, ia tak lantas mengingkari mimpi tersebut. Nabi justru memilih merenungi mimpi tersebut dan memohon petunjuk kepada Allah.
Malam selanjutnya, mimpi yang sama kembali mendatangi malam Nabi Ibrahim, begitu pula dengan malam ketiga.
Baca juga: Panduan Lengkap Pelaksanaan Kurban di Masa Wabah PMK
Setelah mimpinya yang ketiga, barulah Nabi Ibrahim meyakini dan membenarkan bahwa mimpi itu benar-benar perintah dan harus dilaksanakan.
Nabi Ibrahim adalah orang yang patuh, dia menaati perintah Allah SWT meski harus mengorbankan anak yang telah lama dinantikannya.
Allah SWT kemudian berfirman dalam Surat An-Nahl ayat 120 yang artinya:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam (yang dapat dijadikan teladan), qaanitan (patuh kepada Allah), dan hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang menyekutukan Allah)."
Baca juga: Keutamaan Puasa Dua Hari Sebelum Idul Adha, Tarwiyah dan Arafah
Nabi yang mendapat julukan Abul Anbiya atau Bapak dari Para Nabi ini pun menyampaikan isi mimpi kepada anaknya, sebagaimana tertulis dalam Al-Quran Surat Ash-Shaffat ayat 102: