Dokter Padmosantjojo selama di RSCM selalu menggratiskan bedah saraf yang dilakukannya.
"Saya dibayar 2M per pasien. Makasih, Mas. Matur nuwun, Mas," ujarnya sambil tertawa.
Menurut Padmosantjojo, perhatiannya pada Yuliana Yuliani juga merupakan bentuk protes kepada pemerintah yang disampaikan dengan contoh nyata.
Bahwa untuk memberi akses layanan kesehatan tak perlu jargon politik, hanya perlu empati dan kemauan menolong mereka yang membutuhkan.
Padmosantjojo, yang belajar bedah saraf di Rijk Universiteit, Groningen, Belanda, menyatakan Indonesia merdeka, tapi akses warga pada layanan kesehatan, khususnya bedah saraf, belum merata.
Tidak semua warga bisa mengakses layanan ini, apalagi sejumlah provinsi belum punya dokter spesialis bedah saraf.
Hal ini membuat pasien yang butuh menjalani bedah saraf bisa meninggal karena tak tertangani.
Penghargaan prestasi dokter bedah saraf pun seolah enggan dilakukan pemerintah.
Padmosantjojo pernah ditawari bekerja di Belanda dan akan dikukuhkan sebagai guru besar di Groningen, tetapi ia memilih balik ke Indonesia.
"Demi bangsa," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.
Nah itulah kisah Yuliana dan Yuliani, kembar siam dempet kepala yang berhasil dipisahkan pada tahun 1987 lalu, sempat menyita perhatian masyarakat.
Kini keduanya menjalani hidup normal bahkan berhasil meraih mimpi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.