FILM nasional berjudul Tiga Hati Dua Dunia, Satu Cinta yang dirilis tahun 2010 memberikan edukasi tentang pentingnya sikap toleran dalam perbedaan agama dan suku (etnik). Film itu diadaptasi dari novel Ben Sohib (De Peci Code dan Rosid dan Delia).
Filmnya ringan untuk dikonsumsi secara publik dan memiliki nilai humor. Akan tetapi, pesan utama berupa sikap menerima dan terbuka pada perbedaan tersampaikan dengan gamblang dan sungguh menyentuh rasio dan rasa.
Film itu menggetarkan hati penonton untuk hidup sebagai sosok yang toleran di tengah kemajemukan di Indonesia. Kemajemukan ini pada dasar dan realitanya sungguh rawan untuk diadu domba oleh oknum yang benci toleransi, kedamaian, dan keadilan.
Kata toleransi berasal dari bahasa Latin tolerare yang berarti sabar dan menahan diri. Dalam bahasa Inggris, toleransi diterjemahkan dengan kata tolerance yang memiliki arti membiarkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) toleransi didefinisikan sebagai sifat atau sikap toleran; batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; dan penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja.
Baca juga: Kenang Buya Syafii, Gus Halim: Beliau Salah Satu Tokoh Penggiat Toleransi di Indonesia
Dengan demikian, kita bisa mengambil inti sarinya bahwa toleransi merupakan kemampuan seseorang untuk bersabar atas, menahan diri terhadap, dan membiarkan hal-hal yang tidak berjalan dengan semestinya. Di dalam kata toleransi terdapat sikap menaruh hormat pada segala perbedaan yang terjadi di luar pemikiran dan ekspektasi seseorang.
Menurut Emanuel Agius dan Jolanta Ambrosewicz dalam Towards a Culture of Tolerance and Peace yang dimuat dalam International Boreau for Children's Right (2003), kata toleransi memiliki dua makna. Pertama, semua orang, baik individual maupun komunal, memiliki hak yang sama dan setara (tolerance means that all individuals, as well as the groups, have equal rights). Kedua, setiap individu maupun kelompok mengakui dan menerima hak orang lain yang berbeda dalam bentuk opini, pemikiran, keinginan, dan kehendak (every individual and group recognises and accepts the right of the other parties to have different opinions, thoughts, will, and behaviour).
Dalam toleransi harus ada sikap siap menahan diri untuk tidak memaksa orang atau kelompok lain identik dengan satu figur, konsep, dan teori. Orang yang tidak terbuka pada keberagaman dan perbedaan masuk dalam kategori intoleran.
Cukup terang dan jelas bahwa sikap toleransi akan menggiring orang atau kelompok pada standar kedewasaan yang menciptakan dua mata rantai berikut, yakni perdamaian dan keadilan. Jika toleransi terpelihara, konflik dan perpecahan akan diminimalisir. Dengan demikian, orang atau kelompok tertentu bisa mengekspresikan diri secara bebas tanpa ada usikan dari orang atau kelompok lain. Dalam hal inilah, toleransi sebagai sikap membiarkan dapat dipahami.
Orang yang toleran adalah orang yang dengan lapang hati, dewasa, dan matang membiarkan hal-hal yang berbeda dengan dirinya terjadi tanpa ada hasrat untuk mengintervensi dan menguasai. Orang yang toleran adalah orang yang ingin hidup damai berdampingan dengan yang lain.
Diane Tillman mengamini ada kebenaran dari keadaan tersebut. Dalam buku Pendidikan Nilai untuk Kaum Muda Dewasa (2004;95), Tillman menyatakan bahwa "toleransi adalah metode menuju kedamaian". Bagi Tillman, lewat toleransilah perdamaian dan kesetaraan dapat diraih. Pada intinya toleransi berarti sifat dan sikap menghargai yang ditujukan pada siapa saja yang dapat menjaga dan merawat kesetaraan dan keharmonisan.
Selain perdamaian, di dalam sikap toleran, ada ketulusan hati menciptakan keadilan.
Toleransi itu sungguh penting dan urgen, mengingat akhir-akhir ini muncul berbagai aksi teror dan separatis yang hendak mengguncang bangsa Indonesia. Henry Alexis Rudolf dalam Kekuasaan dan Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan (2009) menyampaikan bahwa dalam meningkatkan toleransi, masyarakat perlu saling mengerti dan menghormati orang lain, bukan sekadar mencari kesamaan dan kesepakatan yang mudah untuk dicapai. Memang, jika hanya berkutat pada diskursus tentang kesamaan, toleransi yang didapat akan kering dan tidak menyasar keadilan dan perdamaian.
Proses ini tidak sekali jadi dan harus berlangsung dalam pendidikan dan beberapa pendekatan seperti pendekatan perorangan, pendekatan kelompok, dan pendekatan klasik.
Usaha untuk menguatkan toleransi di Indonesia tidak terlepas dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 28J UUD 1945 menegaskan, setiap orang harus menghormati hak asasi orang lain dalam rangka tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dari sejarah lahirnya Pancasila, kita dapat belajar dari the founding fathers semangat toleransi yang sangat tinggi. Mereka mengalahkan kepentingan pribadi, golongan, dan agama demi menciptakan satu Indonesia yang merdeka, adil, dan damai. Itu terjadi di tengah teror dan ancaman yang masif.