Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Ganja, Obat atau Racun?

Kompas.com - 04/07/2022, 08:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA berkunjung khusus untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi pada seorang ibu yang pada Hari Bebas Kendaraan (Car Free Day) pekan lalu di seputaran Sudirman-Thamrin membawa spanduk bertuliskan, "TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS!"

Perempuan yang membawa spanduk itu adalah Santi Warastuti (43 tahun). Putri Santi,  Pika (14 tahun), menderita lumpuh otak atau cerebral palsy.

Menurut Santi, tujuh tahun awal kehidupan Pika normal. Setelah usia tujuh tahun, Pika mulai menunjukkan kelumpuhan otaknya. Bahkan kini, kondisinya, saya melihatnya sendiri, sangat memprihatinkan.

Setiap kali ia belajar berkata sesuatu, misalnya sebut "mama" atau "papa", lalu semua terhapus alias me-reset kembali setelah serangan kejang menimpa dirinya. Dan, begitu seterusnya.

Baca juga: Kisah Santi Perjuangkan Ganja Medis untuk Sang Putri yang Cerebral Palsy: Saya Usahakan yang Terbaik

"Saya menjaga agar Pika tidak kejang, Mas" kata Santi kepada saya.

"Saya ini sudah melakukan pengobatan selama tujuh tahun. Jadi bukan ujug-ujug minta ganja medis" tambah Santi.

Apakah "ganja medis" satu-satunya?

Saya kemudian bertanya, apakah ganja medis merupakan satu-satunya pengobatan untuk menghindari kejang ini? Santi merujuk pada pengalaman sesama ibu, Dwi Pertiwi yang juga memiliki anak bernama Musa. Musa mengalami penyakit yang sama, cerebral palsy syndrome. Dwi memberanikan diri untuk pergi ke Australia, untuk mendapatkan pengobatan ganja medis di sana.

Dwi mendapati Musa berkembang lebih baik. Karena kejang bisa dihindari dan kondisinya semakin membaik. Semua itu dituangkan ke dalam video Youtube dari LGN TV dengan judul Film Dokumenter Musa.

Namun uang persediaannya menipis, Dwi harus kembali ke Indonesia. Sementara di Indonesia, segala bentuk turunan ganja termasuk ganja medis dilarang. Karena undang-undang mengamanatkan ganja dan turunannya adalah jenis narkotika paling berbahaya alias golongan 1.

Bahkan berdasarkan Undang-Undang Narkotika, memiliki ganja di atas 5 gram saja ancaman hukumannya bisa seumur hidup. Musa kemudian tidak lagi mendapatkan pengobatan ganja medis, dan kondisinya berangsur memburuk, hingga akhirnya Musa meninggal.

Kondisi ini mengingatkan pada kasus Fidelis Arie di Sanggau, Kalimantan Barat pada 2017. Istrinya yang menderita penyakit langka terkait dengan kelainan sumsum tulang belakang sempat membaik dengan menggunakan pengobatan ganja.

Belakangan Fidelis ditahan karena menggunakan ganja meski untuk pengobatan istrinya. Kekurangan Fidelis adalah ia menggunakan ini tidak berdasarkan petunjuk dokter alias inisiatif sendiri.

Istrinya pun meninggal, tepat di hari ke-32 Fidelis ditahan.

Santi Warastuti, seorang ibu yang viral karena menyuarakan legalisasi ganja medis diundang dalam Rapat Dengar Pendapat umum Komisi III DPR RI, Kamis (30/6/2022).KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN Santi Warastuti, seorang ibu yang viral karena menyuarakan legalisasi ganja medis diundang dalam Rapat Dengar Pendapat umum Komisi III DPR RI, Kamis (30/6/2022).
Ganja antara "THC" & "CBD"

Pada ganja memang terdapat dua bagian utama. THC (Tetrahydrocannabinol) dan CBD (Cannabidiol). THC jika dikonsumsi memiliki efek psikoaktif. Ini bisa berakibat "high" alias rasa senang berlebihan hingga cemas.

Sementara CBD, memiliki efek medis pada sejumlah penyakit termasuk mengurangi risiko kejang pada penderita epilepsi maupun cerebral palsy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com