Jakob Oetama dan PK Ojong mendapat otonomi profesional yang penuh sebagai pangasuh sehari-hari koran yang akan lahir itu.
Namun, tidak mudah mendapatkan izin terbit walaupun, kata Seda, "ada restu dari Bung Karno".
Masalahnya, lanjut Seda, aparatur perizinan saat itu "dikuasai" PKI.
Setelah pusat memberikan izin prinsip, mereka harus mengonfirmasikannya ke Daerah Militer V Jaya.
Lalu, ketika semua sudah dapat diatasi, muncul suatu persyaratan terakhir untuk dapat terbit, yakni harus ada bukti bahwa telah memiliki langganan sekurang-kurangnya 3.000 orang.
"Ini benar-benar pukulan terakhir, knock out! Itu sangka mereka. Mereka lupa bahwa masih ada yang dinamakan Flores," kata Seda.
Maka, selanjutnya diberi instruksi ke Pulau Bunga itu kepada semua anggota partai, guru-guru sekolah, dan anggota-anggota Koperasi Kopra Primer di Kabupaten Ende Lio, Kabupaten Sikka, Flores Timur, untuk segera mengirim daftar 3.000 pelanggan lengkap dengan alamta dan tanda tangan.
Hingga akhirnya, bagian perizinan Kodam V Jaya menyerah, keluarlah izin terbit.
"Saya menghadap Bung Karno untuk melaporkan bahwa semua sudah siap," kata Seda.
Lalu, Seda bertemu Bung Karno dan ia ditanya mengenai nama korannya.
"Apa nama harianmu itu?," tanya Bung Karno.
"Bentara Rakyat, Bung!," jawab Seda.
Bung Karno hanya tersenyum sembari memandang wajah Seda dan kembali bertanya padanya.
"Aku akan memberi nama yang lebih bagus...Kompas! Tahu toh apa itu Kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan atau hutan rimba!," sahut Bung Karno.
Seda pun menjawab, "Baik, Bung. Akan saya bicarakan dulu dengan Redaksi dan Yayasan," jawab Seda.
Akhirnya, redaksi dan yayasan menyetujui usulan Bung Karno tersebut dan nama Bentara Rakyat yang sudah disiapkan, diubah dengan nama Kompas.