ADA sebuah fenomena baru dalam penegakan hukum di negeri ini. Tersangka kasus pidana bisa bebas tanpa masuk ke pengadilan.
Hal itu memunculkan dua kekhawatiran, yaitu soal efek jera dan kongkalikong alias suap hingga pemerasan di lingkup penegakan hukum. Meski di sisi lain ada hal positif, yaitu soal keluhuran keadilan yang tercermin dari sini.
Saya menyaksikan sendiri, bahkan saya ikut menjemput dan ikut bersama jaksa yang membebaskan seorang tersangka pencuri yang sudah diproses polisi hingga kejaksaan dan siap dilimpahkan ke pengadilan alias sudah P-21 kasusnya. Tersangka dalam posisi ditahan di Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Baca juga: Kejaksaan Selesaikan 823 Perkara melalui Keadilan Restoratif sejak 2020
Kasusnya bermula dari sebuah pencurian di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat. Kala itu, Jimi Tamaka, mencuri telepon seluler yang baru dibeli dari seorang ibu. Tersangka mendapatkan telepon beserta kardusnya dan perangkat lainnya.
Sesaat setelah dia mencuri tanpa perlawanan dari korban, si korban berteriak dan menyebut tersangka sebagai maling! Sempat dihakimi massa, Jimi tersungkur dengan motornya dan diamankan petugas keamanan hingga dibawa ke Polsek Cempaka Putih, Jakarta Pusat.
Dua bulan mendekam di tahanan polsek, Jimi melalui proses penyidikan di polisi dan penuntutan di kejaksaan.
Jimi bercerita kepada saya dia adalah ayah tiga anak. Anaknya yang terkecil masih berusia dua tahun. Jimi bekerja sebagai tenaga pemasar alias salesperson di sebuah produk kecap, dengan upah 1,5 juta per bulan, meski sudah tiga bulan ia tidak menerima upah. Sementara kontrakannya di tepi sungai di Tambun Utara, Kota Bekasi, belum dibayar tiga bulan.
Pilihannya kala itu ia harus membayar 1,8 juta atas tunggakan tiga bulan kontrakan (per bulan Rp 600 ribu), atau anak-anak dan istrinya tak lagi punya tempat tinggal. Gelap mata ia mencuri, hingga akhirnya dibui.
Lalu ia mengajukan proses restorative justice (RJ) alias keadilan restoratif. Prosesnya akhirnya disetujui pihak penuntut, dalam hal ini ditangani oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Proses ini diteruskan dan akhirnya diputuskan pusat, Kejaksaan Agung.
Saya mengikuti proses "sidang" keputusan oleh Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Saya melihat bagaimana pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan diajukan, selain syarat keadilan restoratif itu sendiri, yakni baru pertama kali melakukan tindak pidana, hukuman tak lebih dari lima tahun, kerugian maksimal 2,5 juta rupiah, dan yang terpenting dimaafkan oleh korban.
Setelah diputuskan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Fadil Jumhana, belenggu borgol dan rompi tahanan kejaksaan pada Jimi pun akhirnya dilepas. Saya melihat suasana begitu haru, dengan didampingi istri dan anak balitanya. Termasuk korban pencurian HP juga hadir dalam sidang itu.
Tayangan lengkapnya di program AIMAN yang tayang setiap Senin pukul 20.30 WIB malam di KompasTV.
Baca juga: Kejaksaan Hentikan 302 Perkara Berdasarkan Keadilan Restoratif
Satu tersangka yang siap jadi terdakwa urung dilakukan proses sidang. Sedianya Jimi terkena pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Ada kekhawatiran, seperti yang diungkapkan pada survei Litbang Kompas pada awal tahun 2022 ini, terkait dengan proses seperti dalam kasus Jimi di atas. Ada 76 persen responden mengaku khawatir akan pelaksanaan keadilan restoratif yang bisa membebaskan tersangka kasus pidana.
Ini sejalan dengan apa yang disampaikan pakar hukum pidana, Profesor Hibnu Nugroho pada program AIMAN.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.