ADA sebuah kisah seorang filsuf dan muridnya. Para murid itu tengah bingung menentukan pemimpin.
Oleh karena itu mereka memancing Sang Guru dengan pertanyaan, "Guru, seandainya guru jadi pemimpin negeri ini, apa yang pertama-tama akan guru kerjakan?"
"Pertama sekali saya perbaiki bahasa. Sebab, kalau saya menggunakan bahasa yang tidak beres, maka yang saya ucapkan bukanlah yang dimaksud. Kemudian yang terjadi, yang dimaksud malah tidak dikerjakan, dan justru yang dikerjakan bukan yang dimaksud. Kalian paham?" kata Sang Guru.
Para murid menggelengkan kepala.
"Bahasa yang tidak beres itu menggambarkan pikiran yang juga tak beres. Jadi bagaimana mau mengerjakan yang dimaksud?" kata Sang Guru menambahkan.
Para murid manggut-manggut sekadar menyenangkan Sang Guru.
Guru yang dimaksud adalah filsuf Tiongkok abad ke-5 SM, Kung Fu-tse. Sayang, Kung Fu-tse tak pernah menjadi pemimpin negeri sehingga murid-murid tak tahu persis praktik bahasa yang beres itu.
Namun, dari nasihat-nasihat Sang Guru, mereka bisa tahu bahwa bahasa beres itu menganut prinsip moralitas.
Adapun moralitas bahasa itu bisa dibaca dari pilihan kata, cara bertutur yang mampu mengendalikan emosi, tenang dan penuh pertimbangan.
"Penuh pertimbangan", inilah yang luput dari bahasa seorang pemimpin kita. Atau setidak-tidaknya pernah memimpin kita.
Andai mau mempertimbangkan ucapannya atau pilihan bahasanya, rasanya tak akan ada reaksi negatif dari masyarakat, terutama warganet.
Jangan salahkan warganet bilamana berkomentar "rasis" atau "pelecehan profesi". Celaka lagi tatkala warganet melihat pemimpin kita itu menghidupkan elitisme.
Kita dapat membaca pikiran seseorang lewat bahasa. Kitapun bisa melihat cara seseorang berekspresi juga dari bahasa. Ini terkait dengan hakikat bahasa.
Sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah filsuf bahwa bahasa mengungkapkan pikiran manusia, dan juga bentuk empirik yang merupakan sarana ekspresi manusia.
Lebih dalam dikemukakan oleh Hans-Georg Gadamer (hidup pada 11 Februari 1900 – 13 Maret 2002), bahasa adalah realitas yang tak terpisahkan dari pengalaman hidup, pemahaman, maupun pikiran.