ILMU pengetahuan berkembang secara luar biasa cepat sehingga apa yang diajarkan di bangku sekolah senantiasa tertinggal oleh kenyataan.
Bahkan apa yang saya tulis di naskah yang sedang Anda baca ini juga sudah tertinggal oleh kenyataan.
Ketika saya masih di bangku SMA di Indonesia, guru fisika yang pada masa itu masih disebut sebagai ilmu alam belum mengajarkan apa yang disebut sebagai kuantum.
Mungkin berdasar keyakinan bahwa saya terlalu bodoh untuk mengerti apa itu kuantum.
Karena di Jerman saya studi musik, seni rupa dan manajemen, maka saya juga tidak memperoleh pelajaran tentang kuantum.
Pertama kali saya mengenal istilah kuantum justru bukan dari bangku sekolah, tetapi melalui serial acara televisi yang ditayangkan oleh NBC dengan judul Quantum Leap.
Kemudian agar mampu memahami makna kuantum, saya berusaha secara otodidak mempelajari sejarah pemikiran para tokoh tentang kuantum.
Konon berdasar apa kata para sejarawan matematika pada tahun 1900 Max Planck menyebut radiasi yang dikeluarkan oleh sebuah “blackbody” sebagai quanta.
Lima tahun kemudian, Albert Einstein menjelaskan dampak fotoelektrik oleh sinar tertentu berinteraksi dengan electron sebagai gumpalan yang kini dikenal sebagai proton.
Tahun 1913 Niels Bohr pertama kali mengembangkan sebuah model kuantum dari atom.
Tahun 1922 Otto Stern dan Walter Gerlach menemukan apa yang disebut sebagai quantum spin sebagai kuantisasi terhadap momentum angular.
Setahun kemudian menyusul Arthur Compton menemukan semesta kuantum dari X-ray mengkomfirmasi eksistensi photon.
Tahun 1923 Louis de Broglie menegaskan bahwa segenap matter memiliki properti seperti gelombang yang dapat disimpulkan bahwa partikel electron menampilkan wave-particle duality.
Setahun kemudian Wolfgang Pauli menemukan prinsip eksklusion. Menyusul Max Born pada tahun 1926 menyarankan interpretasi kemungkinan terhadap kuantum mekanik.
Tahun 1927 Werner Heisenberg mendeklarasikan prinsip ketidak-pastian setelah mengembangkan interpretasi mekanik matriks terhadap teori kuantum.