Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Laurentius Purbo Christianto
Dosen

Dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Nrimo, Mekanisme Pertahanan Diri ala Jawa

Kompas.com - 21/06/2022, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPANJANG rentang kehidupan, manusia dapat dipastikan akan mengalami situasi yang tidak nyaman, tidak menyenangkan, mengecewakan, atau buruk bagi diri mereka.

Manusia memiliki berbagai cara agar mereka tidak jatuh terpuruk, jatuh sakit, dan hancur berkeping-keping saat berada dalam situasi seperti itu. Cara-cara tersebut disebut sebagai mekanisme pertahanan diri.

Psikologi mengenal berbagai bentuk mekanisme pertahanan diri, beberapa di antaranya adalah reaksi formasi, proyeksi, represi, rasionalisasi, penyangkalan, dan pengalihan.

Pada masyarakat suku Jawa terdapat sebuah sikap yang dapat juga dipandang sebagai mekanisme pertahanan diri, yaitu nrimo (atau dapat juga ditulis narimo).

Istilah ini terkait pula dengan filasafat Jawa yang cukup terkenal, yaitu nrimo ing pandum.

Nrimo adalah sikap menerima segala sesuatu yang hadir dalam hidup (De Jong, 1976). Nrimo menekankan pada sikap menerima apa yang ada.

Sikap ini diawali dari pola pikir bahwa seseorang harus mampu menerima kenyataan hingga selanjutnya berujung pada perilaku tidak “memberontak” dan tidak protes atas apa yang terjadi.

Dr. S. De Jong (1976) pernah menulis bahwa karena sikap inilah maka seseorang yang paling miskin pun tetap dapat berbahagia, karena mereka meletakkan kebahagiaan mereka tidak pada benda materiil, melainkan pada sesutau yang lebih mendalam.

Seseorang yang berada dalam situasi paling buruk, menurut diri mereka, tetap dapat berbagia dan tidak jatuh terpuruk jika mereka tidak meletakkan kebahagiaan pada sesuatu yang mereka kategorikan “buruk” tersebut.

Melalui nrimo mereka memahami bahwa hal yang “buruk” dalam hidup mereka memang secara kualitas buruk dan secara kuantitas mungkin terbatas; dan bahkan perilaku “protes” dan “memberontak” tidak akan menaikkan kualitas atau kuantitas hal yang buruk itu.

Nrimo membantu seseorang tidak destruktif dan anarkistis saat berada dalam situasi yang buruk, mengecewakan, atau tidak menyenangkan.

Prof. Koentjoro Soeparno (2010) menyatakan bahwa nrimo akan diikuti oleh sikap tabah dan tawakal (atau dalam bahasa Inggris steadfast dan trust).

Kedua hal ini yang membantu orang tidak jatuh semakin terpuruk, jatuh sakit, dan hancur berkeping-keping saat mendapatkan keadaan yang buruk, tidak mennyenangkan, dan mengecewakan.

Nrimo tidak berhenti pada membentuk pola pikir terbuka, tetapi juga menuntun pada terbentuknya pribadi yang tangguh.

Pengertian nrimo yang menekankan pada sikap menerima segala hal apa adanya sering disalahartikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com