KINI kita memasuki era baru manufaktur intelijen berbasis teknologi informasi big data. Banyak negara, khususnya Amerika Serikat (AS), Inggris, Kanada, Jepang, Israel, Singapura, Tiongkok, dan Argentina, menurut laporan Lyon (2014:4-5), Profesor Louis de Koker et al. (2018), dan Kenji Hiramoto (2017:20) giat menghimpun dan mengelola data-set skala besar antara lain operasi spionase dan tanggap bencana. Meski banyak kritik bahwa tren ini menerabas privasi atau hak keamanan dan perlindungan data pribadi warga negara.
Big data mewakili paradigma baru iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) yang menghasilkan 3 ‘V’ yakni “volume, variety, velocity” (Fan et al, 2015) dan IBM menambahkan veracity (V ke-4) (Jagadish, 2015). Big data menghasilkan informasi skala besar (volume) terstruktur atau tidak terstruktur kadang real-time (velocity) dan kadang tanpa kejelasan sumber (veracity).
Baca juga: Big Data, E-Health, Pandemi, dan Presidensi G20 di Bali
Big data dapat mengubah kinerja organisasi, daya saing organisasi dan negara, mengubah ekosistem usaha, dan memfasilitasi inovasi dan riset-riset ilmiah; misalnya, riset Perrey et al. (2013) menyebut perusahaan ritel meraih kenaikan 15-20 persen ROI (return on investment) karena menggunakan analisa big data. Big data menciptakan nilai bagi tata ekonomi dunia, meningkatkan produksi dan daya saing perusahaan dan kinerja pemerintahan (Manyika, et al., 2011:1).
Bagi pemerintah dan rakyat tiap negara, tantangannya ialah big data menghasilkan V ke-5 yakni nilai-nilai (values) guna mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan rakyat, dan menciptakan ketertiban dunia. Mata rantai menghasilkan nilai-nilai itu perlu dimulai dari olah data menjadi informasi, pengetahuan, dan intelijen yang menentukan pula daya saing bangsa.
Kinerja dan daya saing organisasi sosial, politik, dan ekonomi sangat dipengaruhi kualitas tata kelola informasi berbasis aplikasi teknologi koleksi data, ekstraksi data, dan analisa data. Intelijen bisnis atau daya saing, menurut hasil riset-kajian Chaudhuri et al. (2011), Turban et al. (2008) dan Watson et al. (2007), misalnya berintikan aplikasi teknologi.
Di Tiongkok, tulis Pan et al. (2016:171), terjadi risiko revolusi urbanisasi dan industrialisasi, misalnya kemacetan lalu-lintas, ledakan penduduk kota, lapangan kerja dan perumahan terbatas, kemerosotan lingkungan, dan risiko kesehatan masyarakat. Pilihan respons kebijakan pemerintah Tiongkok berbasis ‘intelijen kota’, varian konsep unik ‘big data’ kota cerdas - sinergi teknologi jasa layanan publik, infrastruktur (sains dan dasar), tata kelola kota, industri, ekosistem dan ekonomi kota.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.