Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ronny P Sasmita
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Penikmat kopi yang nyambi jadi Pengamat Ekonomi

Kaum Intelektual dan Kekuasaan

Kompas.com - 20/05/2022, 07:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SIAPA yang layak disebut intelektual? Apa saja tanggung jawab publik para intelektual?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas sejatinya saling tekait satu sama lain. Noam Chomsky dalam karya klasiknya 50-an tahun lalu punya jawaban yang menarik. Mengapa Noam Chomsky? Karena Profesor Chomsky adalah salah satu contoh konkret kontemporer yang paling konsisten menjalankan perannya dan bertindak dengan penuh kesadaran sebagai seorang "intelektual publik" untuk dunia, meski dianggap asing oleh negaranya sendiri.

Tanggung jawab kaum intelektual

Untuk menjawab pertanyaan pertama, kita perlu mendapatkan jawaban dari pertanyaan kedua terlebih dahulu. Kata Chomsky, ada tiga tanggung jawab utama para intelektual. Pertama, "To speak the truth and expose the lie." Kedua, "To provide historical contex." Ketiga, "To lift the veil of ideology." Jika mampu mengemban tanggung jawab itu, sudah layak disebut intelektual, siapapun anda.

Baca juga: UI Panggil Mahasiswa Kritis dan Pejabatnya Merangkap dalam Kekuasaan, Pakar: Pelemahan Kaum Intelektual

 

Berani mengatakan kebenaran adalah satu hal. Sementara mengekspos kebohongan adalah hal lainya. Tapi keduanya ada dalam ranah fungsional yang sama. Jika mampu menunjukan kebenaran faktual atas tindakan pemerintah, misalnya, maka kebohongan pemerintah sekaligus akan terkespos dengan sendirinya.

Mengapa mengarahnya kepada pemerintah dan penguasa? Karena memang ke sana arah fungsional para intelektual. Di balik kekuasaan, ada dominasi dan monopoli yang bisa mengubur banyak mimpi. Di balik kekuasaan juga ada dominasi dan monopoli yang bisa membuahi banyak mimpi.

Pemilik kekuasaan bisa menjadi sumber kebahagiaan publik, tetapi juga bisa menjadi sumber penderitaan banyak orang. Kekuasaan bisa mendatangkan bencana karena satu kebohongan, begitu pula sebaliknya.

Karena itu, mengungkap kebohongan penguasa adalah bagian signifikan dari tanggung jawab menyatakan kebenaran dari seorang intelektual. Dengan kata lain, dalam prespektif Chomsky, tanggung jawab "to speak the truth" ditujukan ke pada penguasa dan diperuntukan untuk membela yang tidak memiliki kekuasaan.

Baca juga: Luhut: Saya Sedih, Intelektual Hanya Lihat Sepotong kemudian Beri Komentar...

Namun untuk menyatakan kebenaran, tentu diperlukan kemampuan tertentu yang membutuhkan waktu, latihan, ekosistem politik yang demokratis-konstruktif, dan sistem pendidikan dan kebudayaan yang humanis-konstruktif.

Negara otoriter totaliter tidak menginginkan intelektual sejati bertumbuh karena akan menjadi ancaman bagi kekuasaan alias akan mengekspos kebohongan-kebohongan kekuasaan. Karena itu, negara otoriter cenderung merekayasa dunia pendidikan hanya sebagai produsen tenaga kerja terdidik dan sebagai penghasil sumber daya manusia (pseudo intelektual dan teknokrat) penopang eksistensi rezim penguasa yang dengan suka cita menyuplai justifikasi-justifikasi pseudo ilmiah untuk kebohongan penguasa.

Di dalam sistem politik yang demokratis, dunia pendidikan semestinya tidak saja menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan teknis untuk menopang kehidupan dan penghidupanya, tapi juga kemampuan kritis analitis untuk "speak the truth and expose the lie."

Dunia kampus harus berani dan harus mampu membangun harga diri dan kepercayaan diri anak didiknya agar berani berbicara fakta dan kebenaran di hadapan kekuasaan, untuk berdiri tegak dengan harga dan kepercayaan diri di hadapan penguasa yang merusak kemanusiaan dengan kekuasaannya. Meminjam istilah Paulo Freire, dunia pendidikan harus mampu "memanusiakan manusia," bukan semata menjadikan manusia sebagai tenaga kerja.

Dengan menjalankan tanggung jawab tersebut secara benar, maka para intelektual akan dengan sendirinya menyediakan konteks sejarah bagi perannya (to provide the historical contex), yakni dengan menginterpretasikan fakta-fakta ke dalam narasi kebenaran yang mudah dipahami publik, lalu mengungkap kebohongan demi kebohongan dari para penguasa untuk mengembalikan mereka ke jalur sejarah yang benar (mengabdi kepada kepentingan publik dan membela kepentingan pihak yang lemah/powerless).

Baca juga: Soe Hok Gie dan Kisah Seorang Intelektual Muda Indonesia

Konteks sejarah ini sangat perlu, agar tidak ada fakta dan kebenaran yang tertimbun di dalam tumpukan sejarah tanpa diketahui oleh publik. Nyatanya memang fakta dan kebenaran acapkali disembunyikan oleh kekuasaan di balik tirai-tirai ideologi.

Publik cenderung terpesona dengan narasi-narasi ideologis, yang sering digunakan oleh kekuasaan untuk menutupi kepentingan pribadi dan kelompok dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.

Para pedadog komunis-sosialis berbicara lantang tentang ancaman kepentingan pekerja dari lilitan kapitalisme, tapi nyatanya hanya membangun supremasi partai untuk mendirikan istana emas dengan cara-cara represif dan anti-kemanusiaan, mengirim anak bangsanya sendiri yang kritis ke kamp penyiksaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com