Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Nasionalisme Indonesia pada Era Metaverse

Kompas.com - 19/05/2022, 16:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 20 Mei 2022 ini, Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional) jatuh pada hari Jumat dan diperingati sebagai Harkitnas yang ke-114.

Kebangkitan nasional atau nasionalisme memiliki makna luas. Nasionalisme dapat memanifestasikan dirinya sebagai 1) proses empiris pembentukan negara; 2) ideologi hak politik negara; 3) gerakan untuk tujuan nasionalis; 4) rasa memiliki terhadap suatu komunitas nasional; 5) dan bahasa dan aktivitas simbolik bangsa-bangsa (Bdk.Smith, 1991, hlm. 72).

Pada peringatatan Hari Kebangkitan Nasional yang tidak lagi muda, kita perlu kembali merenung untuk menemukan kedalaman makna dan relevansinya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.

Baca juga: Tokoh-tokoh Kebangkitan Nasional dan Perannya

Ajakan tersebut terasa kian urgen karena kita sedang memasuki suatu era baru peradaban manusia yang disebut, "era metaverse". Istilah metaverse berasal dari novel fiksi ilmiah tahun 1992 Snow Crash sebagai lakuran atau portmanteau dari kata "meta" dan "universe."

Mark Zuckerberg, CEO Facebook, melihat metaverse sebagai realitas alternatif universal, "Cawan Suci (Holy Grail) interaksi sosial", yang diyakini akan menjadi kenyataan pada tahun 2025 [Bdk.Antin, Doug (2020)].

Mark Stahlman menyatakan bahwa metaverse mengacu pada pertemuan atau konvergensi antara realitas fisik, realitas virtual, dan augmented reality yang diwarnai dengan kecerdasan buatan. Stahlman juga menegaskan bahwa kini kita bukan lagi “warga dunia” yang bersaing secara fisik: ekonomi dan militer.

Namun kita sedang berada dalam "lingkungan" yang sama sekali baru dalam sejarah umat manusia, karena berbagai bangsa tidak hanya saling berhadapan dan bersaing, tetapi telah merambah satu sama lain secara digital dalam berbagai bidang kehidupan (Bdk.www.digitallife.center).

Metaverse dan nasionalisme

Lalu, bagaimana lingkungan baru metaverse memengaruhi konsep dan praktik nasionalisme umat manusia?

Rupanya, tak semua bangsa siap untuk menyambut metaverse. Bahkan, ada bangsa yang berusaha untuk mengendalikan lingkungan baru itu agar tidak mengganggu identitas bangsanya.

Tiongkok misalnya sedang mencoba melakukan hal ini dengan serangkaian langkah kontrol dan sensor untuk mengendalikan metaverse yang baru mulai. Namun, rezim Tiongkok, dengan segala pengaruhnya, tidak dapat memastikan bahwa bangsanya akan lepas dari pengaruh metaverse. Bahkan, yang terjadi justru sebaliknya.

Warga Tiongkok menjelajah ke lingkungan metaverse dengan kecepatan yang menyamai Silicon Valley. Sudah ada 16.000 aplikasi merek dagang terkait metaverse yang diajukan dan raksasa teknologi telah berinvestasi ke dalam perangkat lunak, perangkat keras, dan infrastruktur utama yang diperlukan agar metaverse ada.

Baca juga: Jangan Terlambat Menyambut Metaverse

Aktivitas metaverse dengan karakteristik China sedang dibangun dan meraih pangsa pasar senilai 8 triliun dollar AS (Bdk. https://thediplomat.com/2022)

Karena itu para ilmuwan sosial sepakat bahwa lingkungan metaverse, disadari atau tidak, mulai dan akan semakin mengubah konsep dan praktik nasionalisme berbagai bangsa di dunia.

Berkenaan itu, Stahlman memperingatkan, tanpa pengetahuan yang mendalam tentang dampak metaverse atau teknologi digital pada peradaban, bangsa-bangsa di dunia tidak akan mampu menavigasi masa depannya. Sebaliknya, bangsa yang mampu memberdayakan teknologi digital akan menjadi yang ‘terdepan’. (Bdk.www.digitallife.center).

Ilustrasi metaverseDOK. Shutterstock Ilustrasi metaverse
Nasionalisme ala ‘Gukpong’

Sejatinya, hubungan metaverse dan ‘nasionalisme’ sudah mulai terwujud secara online. Salah satu contoh paling kasat mata adalah saluran YouTube Korea, 'Gukppong'.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com