Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompasianer Yon Bayu

Blogger Kompasiana bernama Yon Bayu adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Beda Marcos Jr dengan Tommy Soeharto

Kompas.com - 18/05/2022, 10:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KERIUHAN politik Indonesia terhenti sejenak ketika mendengar kabar kemenangan Ferdinand Marcos Jr dalam pemilihan presiden Filipina. "Kenangan indah" terhadap rezim Orde Baru yang sudah didengungkan sejumlah pihak sejak 2017, tiba-tiba dianggap sebagai ancaman serius.

Akankah kemenangan Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong Marcos menginspirasi alam bawah sadar rakyat Indonesia untuk mengembalikan kejayaan Soeharto melalui Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto di pentas Pemilu Presiden (Pilpres) 2024?

Soeharto dan Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos alias Marcos Sr memiliki beberapa kesamaan. Berlatar belakang militer dan hero dalam perang melawan penjajah adalah persamaan pertama.

Baca juga: Kenapa Anak Diktator Bisa Jadi Presiden Filipina, Begini Taktik Ferdinand Marcos Jr

 

Meski menjadi presiden dengan cara yang berbeda dan hanya berselang setahun ketika Marcos Sr merengkuhnya melalui pemilihan langsung (1965), sementara Soeharto melalui sidang MPRS (1966) setelah sebelumnya menjadi tokoh sentral dalam memadamkan pemberontakan G30S/PKI yang kontroversial, keduanya sama-sama rajin memenjarakan lawan politik dan membatasi masyarakat sipil dalam urusan politik. Keduanya juga memanipulasi pemilu sebagai cara melanggengkan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Itu menjadi ciri yang sama antara keduanya.

Namun majalah TIME (2011) tidak memasukan Soeharto dalam 15 diktator dunia yang berhasil ditumbangkan sebagaimana Marcos/ Padahal keduanya sama-sama ditumbangkan oleh kekuatan rakyat. Gerakan people power di Filipina tahun 1986 memaksa Marcos Sr dan First Lady Imelda “Ratu Sepatu” Marcos, meninggalkan Istana Malacanang yang dipenuhi demonstran dan mendarat penuh kehinaan di Hawai, Amerika Serikat (AS).

Soeharto lebih “beruntung” karena Menhankam/Pangab saat itu, Jenderal TNI Wiranto, menjamin keselamatannya sehingga setelah lengser tahun 1998 pasca-mahasiswa dan kekuatan pro-demokrasi menduduki Gedung MPR/DPR, Soeharto dan keluarganya tetap nyaman tinggal di Cendana. Tidak perlu lari terbirit-birit sambil menenteng sepatu.

Baca juga: Kemenangan Marcos Jr dan Pengaruh Disinformasi di Medsos

Kesamaan lain yang membuat bingung penggiat demokrasi adalah keberhasilan kedua rezim membangun ilusi tentang negeri yang damai, makmur, dan sejahtera. Kebanyakan rakyat di pedesaan di kedua negara mungkin tidak tahu, tidak ingat, dan tidak peduli dengan cara Marcos Sr dan Soeharto berkuasa.

Ketika bahan kebutuhan pokok langka sehingga warga harus antre, dan harganya melambung, maka ilusi itu hadir kembali. “Enak zamanku, to?” mendapat pembenaran secara kolektif, termasuk oleh mereka yang dulu ikut menumbangkan Soeharto!

Meski pernyataan tentang kebebasan dan keadilan di masa Soeharto disebut sebagai slip of tongue, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI), Kaharuddin, dalam koreksi atas pernyataanya yang dikecam banyak pihak tetap mempertahankan argumen bahwa rakyat mendapat kesejahteraan di bawah cengkeraman rezim Orde Baru. Ini sesuatu yang luar biasa karena mungkin hanya menggunakan parameter “cukup makan” nir-sandang, papan dan pendidikan.

Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto saat konferensi pers di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2019). Kunjungan Partai Berkarya ke DPP PKS tersebut sebagai wujud konsolidasi yang membahas sejumlah isu setrategis dan persiapan menghadapi Pilkada 2020. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd.ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN Ketua Umum Partai Berkarya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto saat konferensi pers di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2019). Kunjungan Partai Berkarya ke DPP PKS tersebut sebagai wujud konsolidasi yang membahas sejumlah isu setrategis dan persiapan menghadapi Pilkada 2020. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/pd.
Bongbong Vs Tommy

Jika ayah mereka memiliki banyak kesamaan dalam menjalankan kekuasaan, bagaimana dengan anaknya? Bagaikan bumi dan langit meski sama-sama menikmati kekayaan dan mendapat privilese sebagai anak penguasa. Bongbong mengikuti jalur ayahnya sedangkan Tommy keluar jalur.

Dikutip dari Kompas.com, Marcos Jr sudah menjadi Wakil Gubernur Ilocos Norte tahun 1980, saat berusia 23 tahun. Tiga tahun kemudian Marcos Jr diangkat menjadi gubernur dan dipaksa lengser bersamaan dengan tumbangnya kekuasaan sang ayah.

Tidak butuh waktu lama, tepat di tahun 1998, Bongbong kembali meraih simpati rakyat Ilocos Norte. Dia menjadi gubernur di provinsi asalnya sampai tahun 2007. Hal ini tidak terlepas dari “kemurahan hati” Presiden Filipina Corazon Aquino yang mengizinkan keluarga Marcos kembali ke Filipina setelah Ferdinand Marcos tutup usia di pengasingan.

Baca juga: Tommy Soeharto Kalah di Tingkat Kasasi, Pengurusan Partai Berkarya Kembali ke Muchdi PR

Di tengah berbagai dakwaan kejahatan di pengadilan, baik di dalam negeri maupun di Amerika Serikat, cengkeraman politik dinasti Marcos perlahan kembali melalui Bongbong. Selesai menjadi gubernur, Bongbong terpilih menjadi perwakilan Distrik Ilocos sebelum kemudian menjadi Senator Filipina.

Bongbong memanfaatkan posisinya sebagai senator di komite publik untuk membangun kembali citra keluarganya. Meski kalah pada pemilihan wakil presiden (2015), perolehan suara Bongbong sudah sangat signifikan.

Artinya, ketika Marcos Jr memutuskan menjadi kandidat presiden dan kembali melawan Leni Robredo yang mengalahkannya pada perebutan kursi wakil presiden sebelumnya, kemenangannya sebenarnya tinggal menunggu waktu. Bongbong sukses mentransformasikan ilusi dalam pikiran rakyatnya menjadi energi dan keberanian untuk mengembalikan pamor Ferdinand Marcos sebagai pemimpin rakyat.

Apa yang terjadi di Filipina bukan sekedar fenomena “gampang lupa” dan pemaaf, namun sebuah proses politik yang dibangun secara bertahap dan kebetulan bertemu dengan ilusi masyarakat akibat jenuh oleh karut-marut politik, kelangkaan dan melambungnya harga bahan pokok, instabilitas dan kecenderungan perpecahan antar-kekuatan politik.

Ilusi tentang adanya orang kuat yang bisa mengatasi kekacauan berhasil ditawarkan oleh Bongbong dengan sandaran figur ayahnya. Sementara Sara Duterte-Caprio yang memenangi pemilihan wakil presiden dan akan mendampingi Marcos Jr selama enam tahun mendatang, menggunakan sikap keras ayahnya, Presiden Rodrigo Roa Duterte - yang dalam beberapa segi juga mirip Marcos Sr -  sebagai jaminan untuk “membersihkan bandit-bandit dari jalan”.

Meski pernah menjadi anggota Golkar dan Fraksi Karya Pembangunan DPR (1992-1998), jalan politik Tommy Soeharto sama sekali berbeda dengan Bongbong Marcos. Masuknya Tommy ke Senayan bukan prestasi politik karena saat itu rezim Soeharto mendikte siapa yang bisa dan tidak bisa menjadi anggota DPR/MPR.

Kiprah Tommy di DPR sama sekali tidak bergaung. Tommy justru lebih dikenal sebagai pembalap mobil dan "Pangeran Cendana" dalam konotasi negatif.

Sebagai pebisnis, masyarakat pedesaan Jawa dan beberapa provinsi penghasil cengkeh di Tanah Air, mengenalnya sebagai sosok yang menghancurkan masa kejayaan cengkeh melalui Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Tommy juga memiliki catatan kriminal yang akan menghalanginya untuk mengikuti kontestasi elektoral seperti pemilihan presiden. Salah satunya terkait vonis 15 tahun penjara dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, meski kemudian hukumannya disunat menjadi 10 tahun di tingkat Peninjauan Kembali (PK).

Ketidakpiawaian Tommy dalam berpolitik terbukti ketika gagal menjadi ketua umum Partai Golkar 2009-2014. Tahun 2011 Tommy mengikuti jejak kakaknya, Siti Hardiyanti Rukmana, mendirikan partai. Namun hanya di belakang layar. Tommy baru benar-benar tampil ketika mendeklarasikan Partai Berkarya dengan menduduki posisi ketua umum. Partai Berkarya sempat mengikuti Pemilu 2019 tetapi gagal memenuhi ambang batas parlemen (parliementary threshold).

Tommy bahkan kehilangan Partai Berkarya setelah Mahkamah Agung (MA) mengesahkan kepemimpinan Muchdi Pr di partai itu.

Dari sini jelaslah, Tommy tidak seperti Bongbong Marcos dan kekuasaan keluarga Cendana belum akan kembali menguasai pentas politik Tanah Air, setidaknya sampai Pemilu 2024.

Kemenangan Marcos Jr belum menginspirasi munculnya tokoh kuat dari klan Cendana karena mereka gagal mentransformasikan ilusi “enak zamanku, to” menjadi gerakan politik yang terstruktur dan masif. Cendana membutuhkan figur yang lebih kuat dan “lebih bersih” dari Tommy dan kakak-kakaknya.

Itu artinya mungkin menunggu cucu Pak Harto atau menggunakan figur lain. Meski kita pernah mendengar Cendana mendukung tokoh A, B, C, tetapi fakta politiknya Tommy dan kakak-kakaknya belum pernah mendukung calon tertentu secara terang-terangan. Dukungan yang diberikan kepada Prabowo Subianto di Pilpres 2004 dan 2019 hanya gimmick politik karena faktor Titiek Soeharto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com