Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Irwan Suhanda
Editor dan Penulis

Editor dan Penulis

Menghindari Predator Dunia Maya

Kompas.com - 05/05/2022, 18:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GAWAI dan jaringan internet pada satu sisi sangat bermanfaat, komunikasi berlangsung secara cepat dan serentak. Namun, di sisi lain ada saja yang memanfaatkannya sebagai alat kejahatan. Sampai saat ini kejahatan di dunia maya terus meningkat, korban yang lugu dan yang mudah dibujuk terus bertambah.

Kejahatan di dunia maya di antaranya penipuan via online, kejahatan seksual online, pemerasan, doxing, scammer. Ini sudah merupakan kejahatan siber (cyber crime) yang harus dipantau dan ditangani secara hukum. Sebagian korban sudah melapor ke pihak kepolisian atau badan bantuan hukum, sebagian lagi tidak melapor karena berbagai alasan.

Pada April lalu harian Kompas menulis berita bertajuk “Penipu Berkedok Cinta Berkeliaran di Dunia Maya” yang memberitakan tentang para lelaki yang memperdaya perempuan dengan kedok cinta.

Baca juga: Awal 2022, Indonesia Hadapi 11 Juta Ancaman di Dunia Maya

 

Perkenalan berawal melalui aplikasi chatting WhatsApp, Line, Telegram, atau media sosial seperti FaceBook, Twitter, Instagram, Path. Setelah saling mengenal lantas segera dipacari. Selanjutnya dengan bujuk rayu para predator itu mulai memeras secara finansial atau mengeksploitasi secara seksual.

Hal ini mengingatkan saya pada webinar tahun 2021 yang pernah saya ikuti tentang kejahatan seksual online terhadap perempuan dan anak-anak. Waktu itu hadir sebagai pembicara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Ully Pangaribuan SH dari LBH APIK Jakarta, Brigjen Winston Tommy Watuliu, dan sebagai host Sonya Hellen Sinombor dari harian Kompas.

Dalam webinar itu dijelaskan bahwa kejahatan seks online dengan munculnya para predator di dunia maya itu sangat nyata, ada di sekitar kita. Mereka sama seperti serigala yang terus mencari mangsa dengan sasaran para perempuan dan anak-anak yang mudah diperdaya dan ditipu.

Kejahatan seksual online awalnya memakai sarana aplikasi chatting dan media sosial sebagai pintu perkenalan pertama. Sasarannya adalah perempuan muda (SMA, mahasiswi) dan anak-anak di bawah umur. Predator itu mengajak kenalan, kemudian bercerita hal-hal yang membuat iba hati dengan tujuan menimbulkan rasa kasihan dan simpati dari korban.

Apabila dirasa sudah masuk perangkap, maka segera memulai niat jahat yang sudah direncanakan secara sistematis. Korban akan dibujuk agar mengirim foto telanjang, diajak video call sex (VCS) dengan diiming-imingi akan diberi sesuatu asalkan korban menuruti kemauan si predator.

Hasil kiriman foto dan rekaman VCS ini kelak akan dijadikan umpan si predator untuk memeras korban agar mengirimkan uang atau diajak berhubungan seksual, atau si korban dijual ke pihak lain oleh predator tersebut. Kalau menolak, foto dan video ini akan disebar di media sosial untuk mempermalukan (revenge porn).

Kasus-kasus lain yang sering terjadi adalah kasus ancaman distribusi, konten ilegal, pemberdayaan korban, pencemaran nama baik, penguntitan secara online, pengelabuan.

Ilustrasi kekerasan seksual pada anak.Shutterstock Ilustrasi kekerasan seksual pada anak.
Perhatian orangtua

Terkait maraknya eksploitasi seksual dan perdagangan anak melalui media online, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengingatkan para orangtua untuk ekstra hati-hati dan memperhatikan ketika anak-anaknya mengakses konten di internet, jangan sampai terjerat predator di media sosial.

Baca juga: Waspada Penipuan Dunia Maya, Pakar Unair: Medsos Hanya Pesona Palsu

Hal yang sama dikatakan Ully Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta, bahwa kejahatan seksual online berbasis gender ini memanfaatkan media sosial dengan cara menyebarkan foto atau video tanpa persetujuan korban sebagai upaya balas dendam untuk mempermalukan korban.

Dengan demikian, setiap orangtua harus mewaspadai hal ini secara serius, khususnya yang memiliki anak gadis, baik yang masih SMA maupun sudah mahasiswi dan anak-anak yang aktif bermain gawai di dunia maya.

Berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional (2021), pengguna internet di Indonesia 56,6 persen adalah perempuan. Selain itu, anak-anak usia lima tahun ke atas yang jadi pengguna Internet di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) hingga akhir tahun 2021, mencapai 88,99 persen. Mereka menggunakan internet untuk berbagai tujuan seperti tugas sekolah, mencari informasi/berita, hiburan, beli barang, dan sebagainya. Hingga awal tahun 2022 pengguna internet di Indonesia mencapai 204,7 juta.

Dengan membaca angka-angka tersebut, selayaknya para orangtua yang memiliki anak perempuan atau anak-anak di bawah umur perlu ikut mengawasi terutama dampak negatif cyber bullying, konten pornografi. Setidaknya orangtua mengingatkan anak-anak agar jangan sampai terjebak predator di dunia maya.

Baca juga: 3 Tips Hindari Pelecehan Seksual di Dunia Maya ala Pakar Unair

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com