Oleh: Olivia Lewi Pramesti, M.A
AKADEMISI Universitas Indonesia, Ade Armando, dikeroyok massa hingga babak belur di tengah aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (11/4/2022). Kejadian itu menjadi topik yang trending di Twitter sejak kemarin hingga Selasa ini. Di Google Trends, media mainstream mempublikasikan peristiwa itu. Aplikasi Tiktok juga tak ketinggalan.
Di Twitter dan Tiktok, berdasarkan observasi penulis, video Ade Armando dipukul hingga berdarah-darah, serta ditelanjangi beredar bebas. Berbagai komentar muncul, ada yang berempati, menertawai, menyalahkan, hingga komentar negatif lainnya. Media massa mainstream pun ada yang menampilkan video dan foto Ade Armando berdarah-darah, beberapa sudah memblur serta memberikan foto hitam putih terkait kekerasan itu.
Baca juga: 9 Kesalahan di Media Sosial yang Bisa Merusak Hubungan
Peristiwa yang menimpa Ade Armando mengingatkan saya pada sebuah riset dari Microsoft berjudul “Digital Civility Index (DCI)” yang dirilis tahun 2020. Riset itu mengumumkan, tingkat kesopanan netizen Indonesia terendah di Asia Tenggara. Tahun 2021, Microsoft kembali merilis riset DCI dan mengumumkan bahwa netizen makin tidak sopan saat pandemi Covid-19. Indikator kesopanan online di antaranya, menurunnya sikap saling membantu, rasa kebersamaan, dan saling mendukung (CNN Indonesia, 2021).
Penulis berasumsi, riset itu benar adanya dalam konteks di Indonesia. Belajar pada kejadian Ade Armando, tingkat kesopanan warganet tampaknya sedang diuji kembali.
Setiap warga negara memang berhak untuk berekspresi di dunia maya. Hak berekspresi ini berupa hak untuk berpendapat, mengeskspresikan sesuatu hal, serta menerima informasi.
Semestinya, hak berekspresi dibarengi dengan penerapan etika digital. Sederhananya, kalau berbicara etika, kita sebagai warganet bisa membedakan hal yang baik dan buruk di dunia digital.
Berdasarkan Modul Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) (Literasidigital.id), etika digital berkaitan dengan kemampuan individu memahami etika berinternet; pemahaman mengenai konten positif dan negatif di dunia maya; cara berinteraksi, berpartisipasi, dan berkolaborasi di dunia maya; serta bertransaksi aman di dunia maya.
Etika digital ini sangat penting, tak hanya dipelajari, namun diinternalisasi dalam diri masing-masing, karena kita berinteraksi dengan makhluk nyata di dunia maya.
Etiket berinternet sering dikenal dengan nama netiket (network etiquette). Netiket ini biasanya berupa aturan tidak tertulis berinternet, seperti menghargai orang lain, tidak berkata jorok, mengembangkan rasa toleransi, dan sebagainya.
Dalam kasus Ade Armando, misalnya. Penulis melihat hak bereskpresi ini digunakan oleh netizen. Mereka bisa mengunggah apa pun, berkomentar menurut perspektif mereka, membuat meme, dan lain sebagainya atas kasus yang menimpa Ade Armando.
Baca juga: Terapkan Etika Digital untuk Menjadi Contoh Pengguna Media Digital yang Baik
Sayangnya, banyak konten yang tidak disaring. Alhasil, konten yang kurang sesuai pun bertebaran di jagad dunia maya seperti konten perundungan (cyberbullying), konten vulgar, hingga konten ujaran kebencian.
Etika digital ini semestinya perlu dipraktekkan ketika warganet menggunakan media sosial pribadinya. Berpikir untuk kebersamaan, kerukunan, serta penghargaan pada martabat manusia tentunya adalah hal yang perlu diinternalisasi dalam diri masing-masing individu ketika berada di dunia digital.
Perlu untuk menyaring konten, mana konten yang layak dan tidak, konten yang memicu konflik dan tidak, konten yang menghina ataupun tidak, dan konten-konten lain yang akan diunggah. Penyaringan konten ini menjadi bagian dalam refleksi individu sebelum mengunggah kontennya. Dan tentunya, sebelum menggungah konten, masing-masing individu sudah berpikir atas dampak pada konten yang diunggahnya.