KOMPAS.com – Tim Kerja Nominasi Budaya Sehat Jamu bersama Gabungan Pengusaha (GP) mengajukan dokumen nominasi jamu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) milik Indonesia ke Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Minggu (13/3/2022).
Dokumen tersebut digunakan untuk melengkapi syarat yang ditetapkan oleh UNESCO bagi negara yang hendak mengajukan WBTB ke UNESCO.
Sebelumnya, Kemendikbud Ristek telah mengumumkan enam WBTB milik Indonesia yang akan diajukan ke UNESCO pada 2022. Salah satunya adalah jamu.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (15/3/2022), peneliti Erwin J Skripsiadi yang mewakili Ketua Tim Kerja Nominasi Budaya Sehat Jamu mengatakan, pihaknya telah melakukan penelitian jamu dalam ranah budaya untuk keperluan pengajuan WBTB ke UNESCO.
Baca juga: Sakit Tenggorokan dan Cara Meredakannya dengan Herbal Rumahan
Dilansir dari sumber yang sama, Konsultan Penelitian dan Penulis Dokumen ICH-02 Gaura Mancacaritadipura mengatakan, jamu telah menjadi WBTB dalam bentuk obat yang dimiliki bangsa Indonesia sejak lebih dari 1.200 tahun lalu.
Oleh karena itu, jamu dianggap dapat menjadi sumbangsih bangsa Indonesia untuk kesehatan dunia, terutama di masa pandemi Covid-19.
"Ini adalah sumbangsih bangsa Indonesia pada kesehatan dunia, sesuatu yang luar biasa di tengah zaman sekarang dengan banyaknya penyakit. Indonesia telah berusaha berbuat baik. Tentu saja ini harapan kita semua," kata Gaura.
Baca juga: Diprioritaskan sebagai Wisata Kesehatan, Ini Sejarah Jamu
Lantas bagaimana sejarah jamu di Indoensia?
Kerajaan Mataram
Kata Jamu berasal dari dua kata, yaitu “Djampi” dan “Oesodo”.
Kedua kata tersebut bermakna obat atau kesehatan dan doa.
Penelitian yang dilakukan oleh Deby Lia Isnawati dan Sumarno dari Universitas Negeri Surabaya mencatat, pengetahuan tentang ilmu kesehatan di Indonesia sudah mulai terlihat sejak masa klasik, tepatnya pada periode Kerajaan Hindu dan Buddha.
Data arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuno telah melakukan pekerjaan di bidang kesehatan. Hal tersebut juga ditemukan dalam relief Kharmawibhangga yang terletak di Candi Borobudur, jawa Tengah.
Relief tersebut berangka 722 Masehi dan meupakan peninggalan Kerajaan Mataram pada masa Raja Sayilendra.
Berdasarkan relief tersebut, masyarakat Kerajaan Mataram telah melakukan pekerjaan di bidang kesehatan, seperti kelahiran bayi yang dibantu oleh dukun beranak dan melakukan pertolongan yang diberikan kepada orang yang sakit.
Baca juga: Jamu Pereda Haid Berefek pada Kehamilan? Ini Penjelasannya...
Berdasarkan Prasasti Madhawapura yang tidak memiliki angka tahun, saat itu terdapat profesi yang disebut sebagai “Acaraki”.
Profesi ini diberikan bagi mereka yang andal dalam meracik jamu.
Seorang Acaraki hari melakukan meditasi dan berpuasa agar ia mendapatkan energi positif saat meracik jamu sehingga dapat menghasilkan jamu yang berkhasiat.
Selain itu, relief di Candi Surowo, Candi Rambi, dan kutipan dari Kita Korawacrama di Jawa Timur juga menunjukkan bahwa kebiasaan minum jamu sering digunakan sebagai pengobaan tradisional.
Baca juga: Diprioritaskan sebagai Wisata Kesehatan, Ini Sejarah Jamu
Pada masa Kerajaan Majapahit, jamu semakin dikenal oleh masyarakat dan digunakan sebagai obat-obatan tradisional untuk menyembuhkan beragam penyakit.
Olahan jamu ini dibawa oleh pedagang jamu dengan cara digendong.
Jamu yang digendong tersebut merupakan representasi dari lambang kerajaan Majapahit, yakni “Surya Majapahit”.
Saat itu, terdapat 8 jenis jamu, di antaranya kunyit asam, beras kencur, cabe puyang, kunci suruh, kudu laos, uyup-uyup, dan sinom.
Baca juga: Jamu Menjadi Tuan di Negeri Sendiri
Dilansir dari Portal Informasi Indonesia, tradisi minum jamu sempat mengalami penurunan saat ilmu modern berkembang di Indonesia. Saat itu muncul obat-obatan bersertifikat yang mengubah pola pikir masyarakat.
Akibatnya, minat masyarakat terhadap jamu menurun.
Kendati demikian, pada masa penjajahan Jepang, sekitar 1940-an, tradisi minum jamu kembali populer. Hal itu ditandai dengan diberntuknya Komite Jamu Indonesia.
Perkembangan jamu berangsur-angur mengalami kemajuan.
Baca juga: 5 Obat Tak Lagi Digunakan untuk Pasien Covid-19, Ini Alasannya
Proses pembuatannya tidak lagi secara tradisional, tetapi menggunakan tenologi dan dikemas dalam bentul pil, tablet, dan bubuk instan siap seduh.
Pada 1874 hingga 1990, industri jamu mulai berkembang di Indonesia.
Banyak perusahaan jamu yang bermunculan. Bahkan era itu, pemerintah mengadakan pembinaan-pembinaan agar pelaku industri jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.
Hingga saat ini, minum jamu masih digemari sebagian masyarakat di Indonesia.
Kendati anak muda yang ingin belajar membuat jamu semakin sedikit, perkembangan jamu di Indonesia membuktikan bahwa jamu merupakan bagian dari hasi budaya Indonesia.
Baca juga: Panduan Memperoleh Obat Gratis dan Akses Telemedisin Pasien Isoman Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.