Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Mural, Gambar Dinding yang Lantang Menyuarakan Pergerakan

Kompas.com - 17/02/2022, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tidak jarang, seniman-seniman mural secara kolektif mengadakan suatu pameran karya, seperti "Sakit Berlanjut" yang diselenggarakan oleh dua kolektif seni asal Yogyakarta, yaitu Taring Padi dan Apotik Komik, pada 1999.

Salah satu seniman mural era modern ini adalah Digie Sigit. Dalam liputan yang dipublikasi oleh Visual Jalanan, pria kelahiran 1977 ini adalah seniman yang banyak membuat karya-karya stensil bertema sosial.

Selain itu, ia juga berkarya dalam seni pertunjukkan, zine, dan komik dengan tema yang sama.

Dalam siniar (podcast) Beginu bertajuk “Digie Sigit, Menghindari Anonimitas Mural untuk Menghormati Publik”, Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com, berkesempatan mengulas pergumulan hidup dan pandangan seni sang seniman, Digie Sigit.

Anonimitas dan kritik sosial

Sigit bercerita pengalamannya ketika turun melukis mural untuk mengkritik situasi saat era Orde Baru bersama rekan-rekannya.

Pada saat itu, kondisi perpolitikan sangatlah represif sehingga ia menganonimkan mural yang dilukisnya.

Saat itu, mural yang dilukiskan Sigit tidak bersifat fatalis atau secara terbuka mengkritik pemerintahan. Hal itu dilakukan agar tetap bisa konsisten dan aman melukis mural.

“Bisa hilang kalau dulu, Mas. Hilang beneran,” ujarnya.

Kemudian, di penghujung Orde Baru, bermunculan isu rasisme terhadap kaum Tionghoa Indonesia yang dilancarkan rezim.

Sigit dan rekan berusaha memukul balik isu tersebut secara mandiri. Meskipun begitu, diskusi kolektif antarseniman tetap dilakukan untuk menguatkan pesan tersirat yang ada di mural.

Contoh karya mural yang dituliskan Sigit dan rekan untuk memukul balik isu rasisme tersebut, yaitu “Semua Bersaudara”.

Kemudian, setelah runtuhnya Orde Baru, Sigit mulai menggunakan metode gambar dalam ekspresi muralnya.

“Di era Gus Dur, (saya) menggunakan stensil satu warna karena situasi politik masih memanas,” ucapnya.

Setelah Gus Dur turun, ekspresi mural sudah bisa bernapas lega karena atmosfer politik yang lebih rileks dan terbuka.

Pada tahun 2012, Sigit memutuskan untuk menghilangkan anonimitas mural karena ia menganggap zaman sudah mulai berbeda. Masifnya penggunaan internet berhasil mengubah pandangannya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com