Lalu dilanjutkan oleh aktivitas dakwah para ulama. Pada abad ke 14, lewat para ulama yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam menyebar di tanah Jawa.
Lewat manhaj dakwah tanpa paksaan dan proses akulturasi yang shaleh li kulli makaan, dengan segera mereka mudah dikenal masyarakat.
Di atas mazhab dan manhaj inilah, NU dihadirkan. Tak terbilang jumlah artikulasi dimunculkan soal Islam Nusantara, tapi wikipedia menyebut ini adalah model Islam Indonesia.
Inilah wujud empiris Islam yang dikembangkan di Nusantara.
Istilah ini diperkenalkan oleh NU, sebagai tafsir pembanding dari mayoritas umat Islam Indonesia atas hegemoni wacana Islam ekslusif, dalam satu abad terakhir, yang didominasi perspektif Arab dan Timur Tengah.
NU melihat, akar Islam Nusantara dapat dilacak setidaknya sejak abad ke-16, sebagai hasil kontekstualisasi, interaksi, indigenisasi, dan interpretasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang sesuai dengan realitas sosio-kultural Indonesia.
Islam Nusantara "mena'rif" nilai ke-Islaman dengan mengadaptasi corak budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia dalam merumuskan fiqihnya. Sejak itulah, 1926, NU lahir.
Kini, tesis Prof Mitsuo Nakamura, Indonesianis asal Chiba University, Jepang, bahwa NU semata kumpulan kaum tradisionalis, telah mengalami shifting.
NU kini, adalah NU yang belajar dengan baik dalam mengadopsi kultur modern dalam mengelola organisasi.
Dalam dua dekade terakhir, telah terlahir puluhan atau mungkin ratusan ribu kader dan anggota yang well educated.
Berperan di lembaga tinggi negara, badan-badan dunia, dan lembaga kemasyarakatan lainnya.
NU yang distereotipe sebagai kaum sarungan, kolot dan antimodernitas, sudah sulit dikonfirmasi lagi.
Dengan ciri utama tasamuh, tawassuth, i'tidal dan tawazun, antiradikal, inklusif dan toleran, NU menempati banyak ruang umat hingga ruang paling private para penganut Islam Nusantara.
Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam Nusantara menggunakan pendekatan budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam.
Pendekatan NU tidak menghancurkan, merusak, apalagi membasmi budaya lokal, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati, memelihara, serta melestarikan.
Dalam hal-hal tertentu, cara ber-Islam NU adalah menimbang unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fiqih.
Secara alamiah, Islam Nusantara berkembang melalui institusi pendidikan tradisional, yakni pondok pesantren.
Pesantren, menjelma lumbung raksasa, tempat bersemai nilai-nilai kesantunan, tata krama ketimuran, dengan meletakkan kredo penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai wasilah menuju keridhaan Tuhan.