BERITA hangat belakangan ini yang beredar adalah tentang satelit komunikasi pertahanan.
Berawal dari pejelasan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa pembangunan Satelit Komunikasi Pertahanan telah merugikan negara.
Kerugian itu muncul dalam format keputusan sidang arbiterase internasional yang mewajibkan negara membayar ratusan miliar rupiah.
Tuntutan tersebut datang dari berbagai pihak yang merasa dirugikan dalam proses pengadaan satelit komunikasi pertahanan itu.
Diketahui dalam proses pengadaan satelit komunikasi pertahanan tersebut terdapat sejumlah kontrak yang berkait dengan beberapa perusahaan antara lain Airbus, Détente, Hogan Lovelis dan Telesat.
Gugatan datang dari Avanti Communications Group di pengadilan arbiterase London dan dari pihak Navajo di pengadilan arbiterase Singapura.
Reaksi muncul dari berbagai pihak yang antara lain merespons pernyataan Menko Polhukam.
Di sisi lain Jaksa Agung Sanitar Burhanuddin menjelaskan bahwa kejaksaan agung akan meningkatkan penyelidikan kasus ini ke tahap penyidikan dalam waktu dekat.
Sementara itu seorang peneliti BRIN mengutarakan bahwa munculnya persoalan ini telah menunjukkan adanya kelemahan dalam faktor pengawasan terhadap Kemhan dari Komisi I DPR RI.
Dalam hal ini, Komisi I DPR RI memiliki fungsi pengawasan terhadap pengelolaan anggaran di Kemhan.
Dari banyak berita yang beredar di media, diketahui konon permasalahan muncul ketika di tahun 2015, yaitu ketika satelit Garuda -1 keluar dari orbit 123 derajat Bujur Timur.
Dalam kasus ini, ternyata ada peraturan tata kelola satelit yang tercantum dalam organisasi PBB bernama ITU (International Telecommunication Union).
Peraturan tersebut antara lain menyebutkan bahwa negara yang telah mendapat hak pengelolaan satelit pada Orbit tertentu, apabila tidak digunakan dalam rentang waktu 3 tahun, maka slot orbit tersebut dapat digunakan oleh negara lain.
Artinya adalah hak Indonesia pada orbit itu menjadi hilang.
Nah, pada proses kontrak kontrak pengadaan satelit itulah, kurang jelas apa penyebabnya, terjadi permasalahan serius yang mengakibatkan Indonesia dituntut oleh para pihak melalui proses di International Arbitration.