Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Akhirnya UNESCO Menghormati Gamelan

Kompas.com - 17/12/2021, 12:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TERUS terang saya merasa terkejut ketika mendengar bahwa UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization), sebagai lembaga Pendidikan dan Kebudayaan Persatuan Bangsa Bangsa, menjelang akhir tahun 2021 akhirnya sudi mengakui gamelan sebagai warisan kebudayaan tak benda milik dunia yang berasal dari Indonesia.

Rasa terkejut saya tentu saja sama sekali bukan berarti tidak setuju, sebab bagi saya gamelan bukan hanya merupakan mahakarya kebudayaan tetapi sudah merupakan mahakarya peradaban.

Baca juga: Gamelan Warisan Budaya Dunia, Nadiem Makarim: Ini Perjuangan dari 2019

 

Gamelan bukan terbatas kebudayaan tetapi sudah merambah masuk ke kawasan lebih luhur ketimbang kebudayaan. Maka seharusnya UNESCO sudah mengakui demi menghormati gamelan sebagai warisan kebudayaan dunia tak benda jauh sebelum tahun 2021.

Namun memang lebih baik terlambat ketimbang tidak sama sekali. Saya sendiri sempat keliru menilai gamelan ketika saya masih kanak-kanak. Semula, semua yang saya anggap musik adalah musik yang diwariskan oleh kaum penjajah yang datang dari Barat yaitu musik diatonik dengan alat musik dawai (biolin, biola, violoncello, kontrabas), tiup (flute, klarinet, basun, trompet, tuba), gamitan (pianoforte, orgel), perkusi (timpani, glockenspiel).

Maka, semula musik gamelan dengan segenap peralatan musiknya sempat saya anggap tidak termasuk ke dalam jenis musik yang kaidah dan kategorinya ditetapkan oleh kaum penjajah.

Namun setelah saya justru belajar dan mengajar musik di Jerman barulah saya menyadari bahwa gamelan justru merupakan mahakarsa dan mahakarya bangsa Indonesia yang mandiri dan berdaulat sebagai musik yang setara alias berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan musik bangsa lain mana pun, termasuk bangsa-bangsa Eropa.

Menggetarkan sukma dan kalbu

 

Bagi saya, pentatonik slendro dan pelog justru memiliki unsur penggetar sukma dan kalbu saya secara lebih dahsyat ketimbang ketimbang diatonika maupun dodekatonika besutan peradaban Barat atau bangsa mana pun juga.

Pada saat saya mendengar alunan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang atau Jenang Gelo atau Tak Lelo Lelo Lelo Dung, sukma dan kalbu saya tergetar tidak kalah tergetar seperti ketika saya mendengar Die Kunst Der Fuge, Simfoni VII Beethoven, La Mer Debussy , Also Sprach Zarathustra Strauss, Pierot Lunaire Schoenberg , Atmospheres Ligeti, atau Threnody Penderecki.

Baca juga: UNESCO Tetapkan Gamelan Indonesia Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Secara subyektif, selera serta sukma dan kalbu saya sejak dilahirkan memang sudah terpengaruh oleh gamelan Bali dan Jawa. Lalu kesemua keyakinan saya diperkokoh dan dimantapkan oleh almarhum mahaguru filsafat gamelan dan wayang saya, Ki Nartosabdho.

Saya tidak menyalahkan UNESCO terlambat mengakui gamelan sebagai warisan kebudayaan dunia tak benda karena UNSECO bekerja bukan secara proaktif tetapi propasif, sekedar menunggu masukan dari ratusan negara anggota sementara tidak semua warga Indonesia menganggap gamelan layak masuk kategori warisan kebudayaan tak benda.

Bahkan rawan dikuatirkan bahwa setelah gamelan diakui oleh UNESCO akan ada pihak yang merasa berkuasa menentukan kebudayaan di Indonesia, lalu akan sibuk membuat pembatasan berdasar peraturan bahwa gamelan harus begini dan begitu yang dikuatirkan alih-alih mengembangkan, justru akan membakukan serta membekukan gamelan secara dogmatis seperti agama dan sains.

Maka, selanjutnya dengan penuh harapan di lubuk sanubari, saya mengharapkan bahkan mendambakan bahwa akhirnya UNESCO akan mengakui demi menghormati jamu, kroncong, dangdut, kolintang, sambal, rendang, krupuk, kripik, kearifan pemikiran alias filsafat leluhur Nusantara sebagai warisan kebudayaan dunia yang berasal dari Indonesia.

Merdeka!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com