TERHITUNG sejak tanggal 1 Desember 2021, Indonesia secara resmi memegang tampuk kepemimpinan atau presidensi Group Of Twenty (G20).
Adapun rangkaian pertemuan Sherpa Meeting I telah dimulai pada selasa (7/12).
Sherpa Track Meeting perdana yang dihadiri 38 negara tersebut fokus merumuskan arah kerja sama dan pembahasan agenda G20 selama satu tahun kedepan.
Indonesia akan mengetengahkan tiga isu penting, yakni penanganan pandemi, isu lingkungan, hingga pencapaian sustainable development goals (SDGs).
Namun dalam tulisan ini, penulis berusaha fokus tentang perubahan iklim sebagai ancaman serius yang tidak terelakan.
G20 punya relevansi dan kepatutan dalam menanggung berbagai permasalahan global khususnya perubahan iklim.
Forum kerja sama ini merepresentasikan lebih dari 60 persen populasi dunia, 75 persen perdagangan global, 80 persen PDB dunia dan sekaligus penyumbang emisi gas dunia sebesar 80 persen.
Karena itu, G20 harus menomorsatukan diskursus tentang ancaman perubahan iklim sebagai tanggungjawab besar yang perlu dijawab dengan suatu langkah konkret.
Setiap kebijakan dan komitmen di antara negara G20, seyogianya dilandasi kesadaran akan pentingnya memperhatikan keseimbangan ekologi untuk kelangsungan generasi selanjutnya.
Untuk suatu alasan yang rasional dan bersifat mendesak, Fakta Iklim Glasgow harus diseret dan dielaborasi secara tajam dalam pembahasan forum G20 yang akan datang.
Stabilitas pembangunan ekonomi global berkesinambungan harus sejalan dengan kesiapan inovasi dalam penyediaan infrastruktur alternatif yang menunjang pemanfaatan energi bersih.
Indonesia yang saat ini memegang Presidensi G20, harus berperan aktif dalam menyuarakan pentingnya mengembalikan keseimbangan lingkungan sebagai prioritas kebijakan di antara anggota G20.
Indonesia perlu menekankan pentingnya kerja sama global di bidang inovasi dan kerja sama strategis dalam menciptakan road map penggunaan energi bersih dan menekan emisi karbon.
Indonesia juga perlu memberi penekanan pada negara-negara di dalam keanggotaan G2O yang dipandang kurang ambisius dalam jalur untuk menekan suhu kenaikan bumi di angka 1,5 derajat celcius.
Obsesi sejumlah negara industrialis besar di dunia dalam mengejar kejayaan singkat dengan konsekuensi penderitaan berkepanjangan jelas tidak rasional.