Diberitakan Kompas.com, Jumat (10/12/2021) Ketua P2TP2A Garut, Diah Kurniasari Gunawan mengatakan, pesantren yang dikelola HW tidak mengeluarkan ijazah untuk murid-muridnya yang sudah lulus.
Ketidakjelasan ijazah ini membuat P2TP2A sempat kesulitan memfasilitasi para korban melanjutkan ke jenjang SMA.
"Ijazahnya ini benar apa enggak, ternyata ada yang sekolah di sana dari SD, ijazah SD enggak ada, ijazah SMP enggak ada, jadi itu harus ikut persamaan," katanya.
Menurut penelusuran P2TP2A Garut, para santri yang menjadi korban perkosaan HW ternyata diiming-imingi biaya pesantren hingga sekolah gratis.
Kebanyakan korban berasal dari Garut, Jawa Barat. Rata-rata para korban masuk ke pesantren tersebut mulai dari tahun 2016, atau sejak masih duduk di bangku SMP.
Baca juga: Kisah Pedih Santriwati Korban Guru Pesantren, Melahirkan Diantar Teman dan Menjaga Anak Sama-sama
Berdasarkan penelusuran P2TP2A Garut, meski disebut sebagai pesantren, tapi pengajar yang mengajar di pesantren tersebut hanya pelaku HW saja.
Jika pun ada guru lain yang datang, tidak tentu waktunya dan hanya bersifat guru panggilan, tidak seperti halnya sekolah atau pesantren pada umumnya.
"Sisanya (waktu) mereka masak sendiri, gantian memasak, tidak ada orang lain lagi yang masuk pesantren itu," kata Diah.
Dari hasil persidangan sementara, tindakan asusila yang dilakukan HW kepada belasan muridnya ini dilakukan tak hanya di yayasan pesantren saja, tapi juga dilakukan di beberapa tempat lainnya.
Kasus pemerkosaan ini terungkap setelah salah satu korban pulang ke rumah saat akan merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Orangtua korban rupanya melihat ada sesuatu yang berubah pada anaknya hingga diketahui anaknya hamil. Dari sana, korban dan keluarga ditemani oleh kepala desa setempat melapor ke Polda Jabar.
Polisi melakukan penelusuran hingga mengungkap bahwa ada 12 santriwati yang diperkosa oleh HW, seorang guru pesantren di Bandung.
Baca juga: Atalia: Kasus Terkuak, Foto Pelaku Terpampang, Santriwati Korban Perkosaan Guru Down Lagi