SEBAGAI insan awam dan jelata, saya semula menduga wabah yang merajalela pada awal bulan Februari 2020, adalah wabah flu biasa yang sudah rutin merajalela.
Namun setelah mulai merambah lalu merajalela di Indonesia, barulah saya sadar bukan virus biasa, tetapi virus luar biasa yang disebut sebagai Corona.
Setelah tanpa bisa membuktikan ada-tidaknya virus, saya membiasakan diri dengan pagebluk virus yang disebut Corona, mendadak Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, bilang bahwa virus jahanam itu berasal dari Wuhan, China.
Maka virus itu disebut sebagai virus China.
Nama bikinan Donald Trump ditolak keras oleh Xi Yinping dengan tudingan bahwa virus mulai merajalela di Wuhan setelah dibawa oleh anggota militer Amerika Serikat ke China ketika ikut serta olimpiade militer di China.
Maka sang virus lebih pantas disebut sebagai virus Amerika Serikat.
Sebenarnya saya berusaha tetap bertahan pada sebutan virus Corona, meski para ilmuwan biomolekular menyatakan virus Corona telah nemutasikan diri sebagai varian baru, yang disebut sebagai Covid dengan embel-embel angka 19 di belakangnya.
Meski WHO mengganti nama Corona menjadi Covid-19, namun saya sudah terlanjur nyaman dengan sebutan Corona ketimbang Covid-19.
Seperti saya sudah terlanjur nyaman dengan sebutan China ketimbang Tionghoa atau Tiongkok.
Menjelang akhir tahun 2021, mendadak muncul gelombang ke tiga atau entah ke berapa pagebluk baru.
Konon berasal bukan dari China, tetapi Afrika lalu merambah ke Eropa. Kemudian memperoleh gelar nama yang dianggap lebih keren ketimbang Covid-19, apalagi Corona, yaitu Delta.
Bahkan kemudian menyusul Omicron.
Ternyata virus tidak mau ketinggalan latah gerakan ganti nama seperti gerakan ganti nama jenis ponsel.
Secara bingungologis, saya tidak ingin menghanyutkan diri ke pergantian nama virus yang membingungkan akibat terus menerus berubah namanya.
Saya yang lemot-pikir kewalahan dalam berupaya mengikutinya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.