Namun tidak berhenti sampai di sini, Sengkuni terus melancarkan aksi politiknya dengan terus mempengaruhi Destarata untuk menyerahkan kekuasaannya sementara waktu kepada anak sulungnya Duryudana yang juga keponakan Sengkuni.
Akhirnya, karena rayuan Sengkuni, Destarata menyerahkan kekuasaan kepada putra sulungnya, Duryudana, hanya untuk sementara waktu saja hingga para pandawa beranjak dewasa dan cukup usia untuk memimpin Astina.
Kendati demikian, tidak ada kata sementara bagi Sengkuni. Ia terus melakukan tindak kejahatan, menyusun rencana licik, dan menghalalkan segala cara untuk melenyapkan para Pandawa supaya keponakannya bisa berkuasa selamanya di Astina.
Inilah yang menjadi cikal bakal perang saudara antara Pandawa dan Kurawa yang dikenal dengan bharatayudha (Sansekerta: perang keturunan Bharata).
Layaknya rumus alam yang mengatakan bahwa segala hal di dunia memiliki batas waktu, kejahatan, Sengkuni pun harus selesai. Ia akhirnya tewas di tangan Werkudara (Bima, putra kedua Pandawa) di bharatayudha yang ia ciptakan sendiri (menurut Kakawin Bharatyudha Karya Mpu Panuluh tahun 1157 M dalam Saroni et al, 2020).
Di detik-detik terakhir kematiannya Sengkuni memilih tetap untuk konsisten dengan karakternya yang jahat, licik, gemar melakukan adu domba, dan haus akan kekuasaan. Ia bahkan tidak pernah menyesali apa yang selama ini ia perbuat.
Dalam wiracarita Mahabharata, Sengkuni memang dikenal dengan karakternya yang buruk, kejam, dan suka menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hampir dipastikan mayoritas tokoh dalam cerita tersebut sangat membenci sosoknya.
Namun, kita perlu menilik peristiwa masa lalu yang menjadi alasan kuat mengapa Sengkuni menjadi begitu jahat. Dikutip dari video CakNun.com (2019), budayawan Cak Nun menjelaskan bahwa Sengkuni pernah mengalami penderitaan yang sangat pelik.
Ia pernah dipenjarakan bersama dengan kedua orangtua dan 100 saudaranya oleh Destarata suami dari Dewi Gandari yang merupakan kakak kandung Sengkuni.
Selama masa hukuman, ia bersama orangtua dan saudaranya merasakan penderitaan yang sangat luar biasa.
Masing-masing dari mereka hanya diberikan sebutir nasi untuk makan setiap harinya. Dengan alasan bertahan hidup, Sengkuni selama bertahun-tahun terpaksa harus memakan orangtua dan saudaranya sendiri (tidak termasuk Gandari).
Baca juga: PandawaXKurawa 2 Ep 13: Sengkuni Lanjutkan Niat Jahat ke Pandawa
Dari masa lalu Sengkuni yang begitu pahit, kita bisa mendapatkan alasan kuat mengapa ia menjadi sosok yang kejam.
Perspektif sosial Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku kejahatan merupakan hasil proses belajar psikologis yang bisa terjadi akibat paparan tindak kejahatan yang dilakukan oleh orang lain kepada dirinya. Secara potensial, peniruan atau pengulangan akan terjadi.
Hal serupa dapat kita temukan dalam salah satu karakter DC Comics, Joker (musuh Batman). Shita Dewi Ratih Permatasari (2020) dalam artikelnya berjudul The Altruistic Side of Arthur Fleck as The Main Character in Todd Phillip’s Joker menjelaskan soal perubahan karakter Joker yang diakibatkan oleh peristiwa masa lalunya.
Sebelum berubah menjadi Joker yang bengis, sadis, dan licik, Arthur Fleck merupakan sosok yang baik, jujur, dan penyayang.