TANPA sadar saya ikut terhanyut di dalam arus gelombang euforia keyakinan bahwa pagebluk Corona sudah berlalu. Euforia keyakinan saya ingkar terhadap kenyataan bahwa pagebluk Corona sebenarnya masih ganas merajalela di marcapada termasuk Tanah Air Udara tercinta.
Memang sudah terlalu lama, sejak awal 2020, umat manusia di planet bumi ini dicengkeram rasa cemas dan takut terhadap angkara murka virus Corona yang tidak kasat bukan saja mata namun seluruh penginderaan itu.
Untuk ke sekian kali kembali terbukti betapa tidak berdayanya makhluk yang menganggap dirinya paling berdaya di marcapada ini.
Namun mahluk yang menyebut dirinya sebagai homo sapiens memang memiliki suatu daya yang istimewa yaitu daya menyesuaikan diri dengan perubahan yang senantiasa terjadi di lingkungan hidupnya.
Akibat mudah beradaptasi umat manusia juga mudah lupa bahwa sebenarnya pagebluk yang serupa dengan pagebluk Corona sudah pernah terjadi pada tahun 1920 yang berawal dari Spanyol maka disebut sebagai Flu Spanyol meski kemudian merajela sampai ke segenap pelosok planet bumi
Apabila kita simak sejarah pagebluk di peradaban umat manusia maka dapat disimpulkan bahkan diyakini bahwa pagebluk merupakan bagian hakiki yang memang apa boleh buat suka tak suka melekat pada peradaban lahir-batin umat manusia.
Agama saya Nasrani maka saya berupaya meletakkan kasih sayang sebagai bagian hakiki kemanusiaan menjadi pedoman utama perjalanan hidup saya.
Namun keyakinan agama saya tidak menghalangi saya untuk mengagumi ajaran indah agama-agama lain.
Maka keniscayaan kehadiran pagebluk termasuk pagebluk Corona sebagai unsur melekat pada kehidupan di metaverse pada hakikatnya senantiasa menyadarkan saya untuk senantiasa menjunjung tinggi kemanusiaan sebagai mahkota peradaban.
Sambil selalu berupaya menyadari bahwa alam semesta terdiri dari penciptaan oleh Brahma, perawatan oleh Wisnu serta perubahan oleh Shiwa yang harus saya hadapi dengan kesadaran kasih-sayang yang saya wujudkan dengan melakukan jihad al nafs menaklukkan diri sendiri agar selalu disiplin pakai masker, jaga jarak, menghindari kerumunan, dan rutin minum jamu.
Dalam mengejawantahkan segenap kearifan itu perlu dilengkapi dengan semangat gotong royong beserta fastabiqul khoirot demi bersaing untuk berbuat bukan keburukan tetapi kebaikan di dalam kerangka bukan kebencian namun kasih sayang
Sebagai warga Indonesia yang tumbuh kembang di lahan peradaban Jawa saya bersyukur memperoleh kesempatan untuk menghayati kearifan leluhur Jawa seperti eling lan waspodo, ngono yo ngono ning ojo ngono, empan papan kesemuanya terangkum di dalam ojo dumeh.
Kearifan leluhur itu merupakan upaya sebijak mungkin, sejauh kemampuan terbatas saya, dalam menghadapi kenyataan bahwa pagebluk termasuk pagebluk Corona merupakan satu di antara sekian banyak unsur melekat pada hakikat peradaban umat manusia.
Memang sampai dengan saat menulis naskah ini saya masih belum terpapar virus Corona namun sama sekali tiada alasan bagi saya untuk dumeh alias takabur.
Sama sekali bukan mustahil bahwa pada saat Anda membaca naskah ini ternyata saya terpapar Corona.
Maka dengan penuh kerendahan hati saya bersujud demi memberanikan diri memohon perkenan kemurahan hati Yang Maha Kuasa melimpahkan anugerah kekuatan lahir batin kepada seluruh umat manusia dalam perjuangan masing-masing menempuh perjalanan hidup menuju marcapada nan gemah ripah loh jinawi, tata tentram kerta raharja.
Amin
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.