Melansir Washington Post, Sabtu (11/1/2020), ahli geofisika Valerie Sahakian mengaku memahami kenapa banyak orang yang tidak sempat menyelamatkan diri dan tidak merasakan gempa saat kejadian.
Sahakian menjelaskan bahwa peristiwa ini termasuk sifat gempa bumi yang aneh karena gempa bumi itu lambat, tetapi menghasilkan jumlah energi yang lebih besar daripada gempa lain dengan kekuatan yang sama.
Hal itu terjadi karena gempa bumi tersebut terjadi di sedimen lunak dekat dengan dasar laut di zona subduksi.
Sehingga, gempa bumi itu menciptakan lebih banyak pergerakan daripada gempa yang terjadi di hard rock.
Dari hasil analisis data gempa, Sahakian mengatakan, dia memikirkan kemungkinan penggunaan sumber data yang tidak terduga untuk mengidentifikasi gempa bumi tsunami.
Pengukuran suatu hari nanti bisa memungkinkan para ilmuwan untuk memperingatkan penduduk untuk berlindung atau mengungsi sebelum terlambat.
Baca juga: 8 Daftar Produk Pangan yang Bebas Izin Edar BPOM
Segmen Mentawai sendiri memiliki catatan panjang terhadap gempa dan tsunami.
Pada 1797, bagian utara segmen ini juga diguncang gempa dan membangkitkan tsunami. Menurut catatan Solovie dan Go (1974), peristiwa ini membuat Kota Padang terendam dan 300 orang tewas.
Sementara, tsunami yang melewati sungai membawa kapal hingga sejauh 5,5 km ke arah darat
Kemudian pada 1833, gempa besar dan tsunami kembali terjadi di bagian tengah dan selatan segmen Mentawai.
Pengulangan dua kejadian gempa besar dan tsunami inilah yang disebut terjadi, yaitu diawali kejadian gempa Bengkulu pada 2007 dan Mentawai pada 2010.
(Sumber: Kompas.com/Abdul Muhari, Ellyvon Pranita, Ahmad Naufal Dzulfaroh, Vina Fadhrotul Mukaromah |Editor: Wisnubrata, Gloria Setyvani Putri)