Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Belajar Arti Kehidupan dari Karya Sastra

Kompas.com - 19/10/2021, 11:25 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BACALAH karya sastra sebanyak-banyaknya maka kita akan peka terhadap kehidupan (Laurence Perrine,1956), memperkaya pengetahuan, memahami berbagai perspektif (point of view), mendewasakan diri, serta terus berproses untuk menjadi subjek yang humanis.

Kira-kira hal itulah yang didapatkan dari kegiatan membaca karya sastra seperti puisi, novel, dan drama. Meskipun kerap dianggap sebagai kegiatan menghabiskan waktu luang, membaca sastra akan memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar hiburan (pleasure/enjoyment).

Sastra bukan saja mengandung pesan moral dan keindahan, tetapi juga merupakan bagian penting dari sejarah peradaban manusia di manapun karena pengalaman kehidupan manusia di berbagai zaman terdokumentasi dalam karya sastra.

Singkatnya, melalui sastra kita akan belajar banyak hal seperti sejarah, pencapaian sekaligus kehancuran manusia, ketidakadilan, kompleksitas narasi, permasalahan hidup dan solusinya, hingga berbagai karakter manusia yang tidak sederhana.

Dalam buku Membaca Sastra (2002) yang ditulis oleh Melani Budianta dkk, sastra banyak digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran tertentu, meskipun bersifat fiktif dan personal, sastra juga diproduksi oleh sang pengarang untuk menggambarkan realitas sosial sebagai potret kehidupan manusia.

Melani juga menambahkan, sastra bisa menjadi sarana yang cukup efektif dalam menggulirkan kritik sosial. Misalnya, pembacaan puisi yang sering kita lihat dalam aksi demonstrasi seperti pada puisi-puisi karya W.S. Rendra dan Wiji Thukul.

Namun, kadang kritik sosial yang terkandung dalam karya sastra tidak selalu disampaikan secara langsung atau lugas, melainkan secara tersirat melalui piranti-piranti sastra seperti simbol dan ironi. Oleh karena itu, pembaca dituntut untuk memahaminya secara mendalam, kritis, dan reflektif untuk bisa menemukan kritik tersebut.

Sastra memperkaya wawasan

Selain menghibur, sastra memberikan kita pengetahuan atau wawasan dari berbagai bidang ilmu yang kadang sulit untuk dibayangkan karena kita tidak memiliki akses untuk menjangkau bidang tersebut.

Artinya, siapa pun bisa dan boleh menulis karya sastra, bukan hanya mereka yang belajar sastra secara formal di perguruan tinggi saja. Justru keragaman latar belakang penulis inilah yang menjadikan sastra kaya akan wawasan dan pengetahuan yang menjadikannya manfaat bagi pembacanya.

Dari novel-novel berjudul The Old Man and The Sea (Ernest Hemingway), The Sea Around Us (Rachel Carson), The Silent World (Jacques Cousteau) dan Moby Dick (Herman Melville), di samping menikmati keindahan ceritanya, kita juga menjadi tahu tentang kehidupan bawah laut yang selama ini mungkin terbatas kita ketahui.

Membaca novel Bulan Nararya karya Sinta Yudisia, kita mendapatkan pembelajaran tentang salah satu kondisi psikologis tertentu, skizofrenia, yang selama ini mungkin ada di sekitar kita dan dialami oleh orang-orang tertentu.

Melalui karya ini Yudisia, yang juga seorang psikolog klinis, menjelaskan kepada pembaca tentang apa itu ODS (orang dengan skizofrenia) dan penyebabnya serta bagaimana menghadapi pasien-pasien dengan pendekatan transpersonal.

Pengetahuan semacam ini sangatlah penting karena semakin luas wawasan kita tentang kondisi psikologis seseorang dan hal yang melatarbelakanginya.

Kita diajak untuk berpikir secara reflektif dan menghentikan segala prasangka dan komentar negatif tentang ODS yang disebabkan oleh keterbatasan dan ketidaktahuan kita akan kondisi tersebut.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Dee Lestari melalui novelnya Rectoverso, Malaikat Juga Tahu (salah satu judul dari sebelas kisah dalam karya ini).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com