KOMPAS.com - Hari ini 100 tahun yang lalu, mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Hoegeng Imam Santoso, lahir pada 14 Oktober 1921.
Banyak tantangan terhadap polisi saat ini, termasuk soal kepercayaan masyarakat.
Mari mengenang Jenderal Hoegeng yang dianggap menjadi teladan para polisi di Indonesia.
Asvi Warman Adam, dalam artikelnya "Hoegeng, Polisi Teladan" yang dimuat di Harian Kompas, 1 Juli 2004, menuliskan, nama pemberian ayah Hoegeng adalah Imam Santoso.
Dalam tulisan Asvi disebutkan, waktu kecil Hoegeng sering dipanggil Bugel (gemuk), lama-kelamaan menjadi Bugeng, akhirnya berubah jadi Hugeng.
Hoegeng mengenyam pendidikan di beberapa daerah yang berbeda. Setelah Sekolah di HIS dan MULO Pekalongan, Hoegeng belajar di AMS A Yogyakarta.
Selepas dari Yogyakarta, Hoegeng melanjutkan pendidikan ke Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia kemudian masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Baca juga: Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional, Ini Profil Jenderal Hoegeng, dr Kariadi, dan Profesor Soegarda
Bagi seorang polisi, daerah ini merupakan sebuah batu ujian karena terkenal dengan penyelundupan.
Dia pun disambut secara unik. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Akan tetapi, Hoegeng menolaknya dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapat rumah dinas.
Tak berhenti di situ. Rumah dinas itu lalu dipenuhi dengan perabot oleh tukang suap. Perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan diletakkan di pinggir jalan.
Sikap Hoegeng ini pun membuat gempar Kota Medan.
Selepas bertugas di Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta dan ditugaskan Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi.
Chris Siner Key Timu dalam artikel "Pak Hoegeng dalam Kenangan" yang dimuat di Harian Kompas, 15 Juli 2004, menceritakan, Hoegeng meminta istrinya, Merry, untuk menutup toko kembang.
Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat.