JUDUL ini bukan berakar dari ramainya pemberangusan mural beberapa waktu lalu, tetapi penulis kutip dari suatu laporan ilmiah oleh Munich Security Brief dalam tema besar tentang A European Survey on Digital (Dis)trust. Amat menarik!
Kajian ini dipublikasikan di triwulan pertama 2021 dengan mengungkap fakta makin meruyaknya ketidak-percayaan digital (digital distrust) di antara sesama negara Eropa dan makin tajamnya ketidak-percayaan digital tersebut antara negara-negara Eropa versus Amerika.
Hal ini tak berlebihan bila disebut sebagai suatu ironi, mengingat di dunia nyata negara-negara Eropa dan Amerika telah lama dipahami sebagai suatu sekutu erat nan mesra (kendati baru-baru ini diletupkan insiden gagalnya kontrak pembelian kapal selam Perancis oleh Australia dan diikuti penarikan duta besar Perancis dari Amerika Serikat).
Dalam istilah sederhana, kepercayaan digital didefinisikan sebagai kepercayaan yang dimiliki seseorang terkait kemampuan (dan kemauan) organisasi/lembaga untuk menjaga keamanan data digital mereka dan menanganinya dengan integritas serta akuntabilitas yang memadai dan konsisten.
Justru pada titik inilah, konsistensi adalah kata kunci yang terasa amat langka di negeri ini, sekali gemebyar seremoni, semangat membara di awal-awal selebrasi untuk kemudian perlahan meredup seiring laju sang waktu.
Padahal, kebutuhan akan konsistensi transparansi dapat membuktikan keamanan, keandalan, dan integritas dalam dunia yang sangat terhubung, adalah nyata dan penting serta tak menolerir kelengahan sedetikpun.
Dalam realitas keseharian, kepercayaan (trust) adalah segalanya dalam membina dan menjaga relasi antar individu beserta segenap kohesinya dalam suatu tatanan sosial masyarakat.
Sudah dimahfumi bahwa menyalahgunakan, menghilangkan, atau mengeksploitasi kepercayaan bakal memberangus serta melenyapkan tidak saja kepercayaan pihak lain kepada kita, bahkan berpotensi besar menipiskan tingkat keberhasilan kita dalam usaha dan upaya lainnya.
Lenyapnya trust bakal mengoyak reputasi kita dan membiakkan saling-curiga secara cepat dan eksponensial.
Demikian pula di dunia maya, di jagad virtual, apapun kanalnya, apapun modusnya, walau tak pernah bersua secara fisik atau nyata, kepercayaan pasti runtuh dan distrust tumbuh dengan pesat tatkala kita tidak mampu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh pengguna (users).
Sebelumnya, di September 2020 lalu, Fletcher School dari Universitas Tufts dalam kemitraan dengan Mastercard juga telah melakukan analisis skala besar yang mengeksplorasi variasi global terkait digital trust.
Senada seirama dengan pembahasan dalam kajian di atas tadi, sedikitnya ada empat komponen utama yang menjadi pilar berdiri tegaknya kepercayaan digital, yakni
Sudah barang tentu, hasil kajian ini mesti disikapi secara kritis, karena fenomena digital trust ataupun digital distrust bukanlah bersifat monolitik, ia adalah fenomena yang multi-faset sifatnya.
Dalam upaya membangun kepercayaan pada sistem digital yang menghubungkan kita semua, pertama-tama adalah amat penting untuk memahami bagaimana orang (atau users) memercayai atau tidak memercayai ekosistem digital yang tersedia dan digunakan saat ini.
Misalnya, jika dua negara menawarkan lingkungan e-commerce yang serupa, tetapi proporsi pengguna yang lebih besar di satu negara benar-benar menggunakan sistem tersebut daripada di negara lain, itu menunjukkan bahwa negara pertama menunjukkan tingkat kepercayaan pengguna yang lebih besar.