"Politik paling aneh, paling absurd, paling unik, dan sekaligus paling sulit diramalkan adalah politik di Indonesia. Komunikasi politik yang berlangsung bernuansa konteks tinggi, lebih banyak pesan-pesan yang tersirat daripada yang tersurat, termasuk pesan melalui bahasa tubuh, busana dan diam" -- Deddy Mulyana
DEMIKIAN yang disampaikan Profesor Deddy Mulyana, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, dalam bukunya "Komunikasi Politik, Politik Komunikasi".
Rasanya, pernyataan itu tidak berlebihan. Seperti itulah potret politik yang terjadi di Indonesia. Apalagi, dengan mencuatnya isu presiden tiga periode yang sangat awet bergulir secara terus menerus ke permukaan publik.
Masifnya wacana tiga periode ini memperlihatkan kekisruhan politik di Indonesia yang semakin menjadi-jadi.
Hanya di Indonesia, para elite politik menciptakan imajinasi politik dengan mendesain isu-isu publik yang kontraproduktif dalam upaya melanggengkan kekuasaan dengan pengaruh pesan politik, sasaran, dan target politik yang dapat diarahkan dan dimanipulasi.
Perilaku aktor politik inilah yang memandang kekuasaan itu sebagai sesuatu yang konkret. Ibaratnya, benda atau barang yang dapat diwariskan kepada anak cucu dan memperkuat oligarki.
Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan tertutupnya celah bagi perbedaan, memunculkan pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi, macetnya regenerasi kepemimpinan, menumbuhsuburkan korupsi serta nepotisme (Noor, 2021).
Aktor politik ini pula yang menggunakan dan menghalalkan segala cara dalam meraih kekuasaan yang berkepanjangan. Apa pun caranya, bila perlu dengan menipu, memfitnah, politik adu domba, menyuap, termasuk mengubah amendemen konstitusi negara yang sudah kokoh.
Padahal, hasil Sidang Umum MPR RI, 14-21 Oktober 1999, perubahan atas Pasal 7 menyebutkan, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Dalam pendekatan sistemik komunikasi politik, kekuasaan diartikan sebagai sesuatu yang cair dan licin.
Meskipun ini dianggap oleh sebagian pihak merupakan wacana liar yang tidak berdasar. Bahkan, MPR RI telah mengelak dan case closed terkait wacana tiga periode. Akan tetapi, kenyataannya, pesan politik tersebut, baik disengaja atau tidak, verbal maupun non verbal, dalam makna interpretif dan transaksional mengarah pada distribusi dan pengelolaan kekuasaan (Mulyana, 2013).
Munculnya kekhawatiran publik menyangkut isu presiden tiga periode adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang berlebihan.
Sebab, bagaimana pun tidak ada yang bisa menjamin bahwa amendemen terbatas yang akan dilakukan itu tidak disusupi klausul wacana presiden tiga periode.
Apalagi, di tengah kondisi pandemi yang masih berlangsung dan kontrol publik yang tidak maksimal karena keterbatasan ruang ekspresi.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, apa yang menjadi keresahan publik ternyata benar terjadi. Beberapa rancangan undang-undang yang menuai kontroversi publik juga akhirnya terealisasi dengan mulus dan cepat.