JIKA Hamlet memandang sebuah tengkorak sambil nyeletuk, "to be or not to be", maka saya memandang bagian dalam sebuah irisan cangkang Nautilus sambil nyeletuk, "saya percaya Tuhan ada."
(Saya belum menemukan kata bahasa Indonesia untuk nautilus maka mohon maaf bahwa di dalam naskah ini saya gunakan istilah nautilus)
Mohon para atheis memaafkan saya yang meyakini bahwa Tuhan ada pada saat memandang sebuah cangkang naitilus yang sedemikian indah karena rancak secara geometris yang mutahil bisa hadir secara kebetulan namun pasti berkat ada sesuatu energi atau tenaga atau zat atau entah apa yang membuatnya menjadi sedemikian indah.
Saat saya mengagumi cangkang nautilus sama dengan saat saya mengagumi Michael Anthony yang tunanetra dan autis pada usia 8 tahun secara mendadak tanpa ada yang mengajar langsung memainkan tiga sonata pianoforter terakbar Ludwig Van Beethoven “Mondschein” , “Pathetique”, “Appasionata”.
Atau Ade “Wonder” Irawan pada usia 14 tahun menggebrak panggung Sydney Opera House dengan resital piano tunggal antara lain mempergelar variasi terhadap "Waltzing Mathilda" dalam berbagai gaya jazz berdasar pesanan.
Atau Daniel Cuandy dalam sekejap mata mengetahui hari kelahiran berdasar tanggal, bulan dan tahun kelahiran siapa pun juga tanpa pernah keliru.
Atau bagaimana seorang ibu memberikan kasih-sayang secara tulus kepada anak-anaknya seperti yang dilakukan Aylawati Sarwono.
Pada saat saya menyaksikan suatu mujizat perilaku yang mustahil saya lakukan sendiri maka saya tidak bisa tidak hukumnya wajib percaya Tuhan ada!
Saya terpesona akibat pada irisan bagian dalam cangkang nautilus tampak rongga-rongga yang tersusun secara geometris di dalam cangkang dengan eksterior berbentuk spiral bersudut sama atau logaritmik.
Bentuk spiral secara kodratis memotong segenap jari-jari sekat dengan sudut konstan sama sehingga segenap sudut terpotong jari-jari memiliki sudut terus-menerus sama derajat di seputar spiral.
Pesona spiral alamiah makin diperindah dengan apa yang disebut sebagai rasio emas yang pada hakikatnya terhubung dengan deret matematis ajaib gagasan Leonardo dari bukan Vinci tetapi Pisa yang lebih dikenal dengan nama Fibonacci.
Sekuenza Fibonnaci diperoleh dengan awal angka 1 kemudian disusul dengan angka yang berasal dari penjumlahan 1 dengan 1 yaitu sama dengan 2 kemudian disusul dengan penjumlahan dua angka sebelumnya yaitu 1+2=3 kemudian 2+3=5 lalu 3+5=8 dan seterusnya sampai tanpa batas akhir alias infinitas maksimal.
Nisbah 21:34 pada spiral bunga aster merupakan dua angka deret Fibonacci yang saling berdampingan.
Gejala rasio emas juga dijumpai pada spiral puspa dan satwa termasuk spiral internal cangkang nautilus mau pun pada bagan anatomi manusia besutan Leonadro da Vinci atau warisan mahakarya arsitektur Parthenon, katedral Chartres dan villa-villa di suburb Paris garapan Le Cobusier mau pun bentuk-bentuk geometris maha indah di dinding mau pun langit-langit Al Hambra, Granada serta masjid agung Mezquita de Cordoba di kawasan Andalusia, Spanyol.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.