Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
(Wiji Thukul, 1986)
KOMPAS.com - Hari ini 58 tahun lalu, tepatnya 26 Agustus 1963, aktivis dan seniman, Wiji Thukul, lahir di Solo.
Thukul menjadi simbol perlawanan dan korban pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) oleh rezim Orde Baru.
Melansir Harian Kompas, 1 Juli 1996, Thukul merupakan anak pertama dari empat bersaudara yang hidup dalam lingkungan tukang becak dan keluarga buruh.
Pendidikannya hanya sampai kelas 2 Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari, Solo.
Hobi membaca buku dan berpuisi, sudah muncul saat Wiji Thukul duduk di SD Kanisius Sorogenen Solo. Di SMPN III Solo, ia bergabung dalam grup teater, dan aktif menghadiri diskusi dan pergelaran seni.
Sejak itu, cita-cita menjadi seniman makin bulat. Ia kemudian aktif berkesenian dan bergabung dengan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Baca juga: Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Bersuara dengan Puisi-puisinya
Nama Wiji Thukul pun mulai populer sebagai penyair dan seniman.
Ia dikenal di kalangan seniman dan kelas menengah mahasiswa, serta aparat keamanan.
Puisi-puisinya mulai menyebar di berbagai majalah dan koran dalam dan luar negeri, diundang ke berbagai kampus di Jawa Tengah dan Yogyakarta, juga ke Australia.
"Saya jadi sangat shock ketika teman saya buruh mebel bertanya pada saya, apa sih yang terjadi setelah kamu baca puisi," kata Thukul.
Tahun 1991, ia memperoleh penghargaan sastra Wertheim Encourage Award, orang Indonesia kedua setelah WS Rendra yang menerima penghargaan itu.
Tak terhitung berapa kali Thukul memperjuangkan nasib para buruh. Bersamaan dengan itu juga, ia kerap ditangkap dan kena 'gebug'.
Salah satu kekerasan yang paling berdampak pada psikisnya adalah ketika ia tertangkap dalam aksi demo buruh Sritex Solo untuk menuntut kenaikan upah.