Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Darwin Darmawan

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

"Jokowi Endgame" Itu "Blame Game", "Plis" Deh, Stop

Kompas.com - 29/07/2021, 09:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta agar tidak ada politisasi pandemi Covid-19 (15/7/2021).

Seminggu setelahnya, muncul seruan aksi bertajuk Jokowi endgame di media sosial. Aksi massa yang rencananya dilakukan pada 24 Juli itu memang tidak terjadi.

Tetapi, iklim politik sempat menghangat. Pihak kepolisian menangkap beberapa orang yang akan berdemonstrasi.

Seruan Jokowi endgame dan pemerintah yang menolak politisasi pandemi sama-sama sedang terlibat blame game.

Di tengah pandemi, blame game perlu diakhiri. Semua pihak perlu fokus mengatasi pandemi. Tidak perlu menyalahkan atau membela diri.

Jika memakai terminologi Avengers: endgame, SARS CoV-2 ibarat Thanos. Ia membahayakan. Thanos hanya bisa dikalahkan dalam kebersamaan.

Blame game

Blame game atau political blame game adalah hal lumrah dalam politik (Hinterleitner,2020). Dia bisa menjadi instrumen untuk mengkritisi pemerintah, tawar menawar politik, mengoreksi kebijakan publik atau menjatuhkan pemerintah.

Blame game melibatkan dua aktor: kelompok yang menyalahkan dan pihak yang disalahkan. Pembuat blame biasanya oposisi. Atau, kelompok kepentingan tertentu.

Pihak yang disalahkan adalah pemerintah (Hood, 2011). Pembuat blame membutuhkan politisi agar kesalahan pemerintah bermuatan politik dan viral.

Biasanya, political blame game muncul jika ada isu “sexy”. Misalnya, saat pemerintah tidak mampu memitigasi bencana. Atau ketika kebijakan penguasa membingungkan rakyatnya. Bisa juga ketika penguasa tidak kompak. Menariknya, ketiga hal ini dilakukan pemerintah ketika pandemi.

Di awal pandemi, mantan Menteri Kesehatan dokter Terawan mengungkapkan kontroversi: Covid-19 bisa ditangkal dengan doa.

Namun pandemi malah meningkat. Pemerintah terlihat tidak siap. Akibatnya, banyak pihak menyalahkan pemerintah.

Kebijakan pemerintah juga terkesan membingungkan. Awalnya pemerintah menggunakan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

Kemudian menggantinya dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Lalu diganti lagi dengan PPKM Mikro (Februari 2021).

 

Perugas Kepolisian dan TNI menjaga penyekatan jalan di pusat Kota Tasikmalaya saat PPKM Darurat diperpanjang sampai tanggal 25 Juli 2021.KOMPAS.COM/IRWAN NUGRAHA Perugas Kepolisian dan TNI menjaga penyekatan jalan di pusat Kota Tasikmalaya saat PPKM Darurat diperpanjang sampai tanggal 25 Juli 2021.

Setelah beberapa kali perpanjangan, Presiden mengambil pengetatan PPKM Mikro (pertengahan Juni). Ketika kasus Covid-19 terus naik, Presiden menetapkan PPKM Darurat.

Pemerintah mengganti lagi istilah PPKM Darurat menjadi PPKM Level 4(Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2021).

Perubahaan istilah ini mengundang kritik banyak pihak. Apalagi substansi di balik kebijakan tersebut sebetulnya sama.

Pemerintah juga terkesan tidak kompak. Beberapa kali terjadi perbedaan pendapat terkait Covid-19. Misalnya, antara Wapres dengan Menko Marves.

Wapres mengatakan situasi Indonesia sangat genting. Menko Marves berpendapat sebaliknya. Dengan percaya diri ia berkata kalau Indonesia sangat terkendali.

Strategi menghindari blame game

Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah bukan hanya membingungkan tetapi juga memberi kesan kuat kalau pemerintah gamang.

Presiden Jokowi juga tidak menerapkan karantina wilayah (lockdown). Di satu sisi pemerintah ingin memutus rantai penularan Covid-19. Pada sisi lain pemerintah ingin agar ekonomi rakyat tetap bergerak.

Hal terakhir ini mutlak diperlukan, sebab jika lockdown diberlakukan, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang sangat besar.

UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Wilayah mengatur tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar masyarakat.

Akhirnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB/ PPKM yang esensinya mirip dengan lockdown. Beberapa pihak lalu menyindir: PSBB rasa lockdown.

Menghadapi serangan blame game, pemerintah umumnya melakukan tiga strategi (Hood, 2011).

 

Sejumlah relawan tengah memasak untuk pasien isoman dan warga terdampak PPKM Darurat di tenda dapur umum yang didirikan di Mapolres Tegal Kota, Kamis (15/7/2021). Kompas.com/Tresno Setiadi Sejumlah relawan tengah memasak untuk pasien isoman dan warga terdampak PPKM Darurat di tenda dapur umum yang didirikan di Mapolres Tegal Kota, Kamis (15/7/2021).

Pertama, strategi agensi. Presiden mendelegasikan tanggung jawab kepada Luhut Binsar Panjaitan. Ia diangkat sebagai koordinator PPKM darurat Jawa Bali.

Tujuannya untuk mengurangi efek negatif risiko blame game. Tidak elok jika Presiden menjadi sasaran tembak jika PPKM darurat gagal.

Kedua, strategi kebijakan. Strategi ini terwujud dalam istilah yang berubah-ubah. Perubahaan tersebut membuat publik sulit mengevaluasinya.

Andaikata sesuatu yang buruk terjadi dalam pandemi, pemerintah memberi kesan telah sungguh-sungguh merespon pandemi. Sebab telah mengeluarkan kebijakan yang dinamis.

Terakhir strategi presentasional. Strategi ini dibuat melalui argumentasi. Tujuannya untuk menutupi kenyataan, membatasi kesalahan atau mengubah blame menjadi pembenaran.

Permintaan maaf Luhut Binsar Panjaitan karena pelaksanaan PPKM belum maksimal bisa dimaknai sebagai strategi presentasional. Melaluinya, pemerintah ingin keluar dari blame game kelompok oposisi.

Stop blame game!

Kebijakan PPKM (bukan lockdown atau karantina wilayah) yang berubah-ubah perlu diterima sebagai keputusan pemerintah.

Presiden Jokowi menjelaskan, selain dana untuk lockdwon sangat besar, ekses negatif ekonomi juga akan sangat signifikan jika lockdown diberlakukan. Baca: Jokowi: Tak Perlu Dipertentangkan, PPKM Mikro dan Lockdown Esensinya Sama 

Pemerintah juga berkali-kali mengatakan, perlu kerja sama semua pihak untuk mengatasi pandemi. Itu berarti, secara tidak langsung pemerintah hendak menyampaikan pesan penting: perlu dukungan rakyat untuk mengatasi pandemi yang dahsyat.

Para politisi perlu menghargai momentum dukungan tersebut. Blame game perlu diakhiri.

Pihak yang berseberangan dengan pemerintah perlu menyadari, jutaan orang terinfeksi SARS CoV-2 dan hampir seratus ribu rakyat Indonesia meninggal dunia. Jumlah korban virus ganas ini masih akan terus bertambah.

Melakukan blame game di tengah krisis ini sangat tidak manusiawi. Selain itu, blame game akan membuat rakyat antipati dan muak terhadap politisi.

Pemerintah juga perlu terbuka: mengakui situasi serius yang dihadapi bangsa. Lebih berguna mengatakan Indonesia sedang tidak baik-baik saja ketimbang membangun citra positif semu.

Tentu saja bersamaan dengan itu, pemerintah perlu menggandeng semua pihak untuk mengatasi pandemi covid 19 ini.

Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj mengingatkan kalau selama ini pemerintah belum melibatkan masyarakat dalam menghadapi pandemi. Padahal, hanya dengan kebersamaan dengan seluruh “super hero” (baca: rakyat), “thanos” (baca: SARS CoV-2) bisa dikalahkan!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com