Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Merindukan Pemimpin Profetik yang Humanis

Kompas.com - 26/07/2021, 06:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK kajian literatur yang membahas tentang berbagai tipe kepemimpinan. Mulai dari kepemimpinan transformasional, transaksional, adaptif, humble leadership, dan lain sebagainya.

Semua tipe kepemimpinan ini memiliki ciri khusus yang membedakannya dengan tipe kepemimpinan yang lain.

Namun, jika direnungkan lebih dalam, terdapat banyak konektor yang menghubungkan antara satu tipe kepemimpinan dengan yang lain, termasuk tipe kepemimpinan profetik.

Kepemimpinan Profetik secara harafiah berarti tipe atau gaya kepemimpinan yang diampu oleh para Nabi dan Rasul Allah SWT, khususnya Nabi Muhammad SAW.

Jika ditelusuri, menurut Anwar (2017), tipe kepemimpinan profetik mengadopsi gaya kepemimpinan situasional. Dia menjelaskan, Nabi Muhammad SAW menerapkan beberapa gaya kepemimpinan yang berbeda, yakni laissez-faire, otoriter, dan demokratis.

Berbagai gaya ini diterapkan secara situasional oleh Rasulullah SAW yang menunjukkan juga bahwa tipe kepemimpinan beliau termasuk tipe yang adaptif.

Kepemimpinan profetik mengedepan kecerdasan spiritual (spiritual quotient) dalam praktiknya. Sosok pemimpin yang memiliki kesadaran bahwa segala sumber ilmu pengetahuan tidak hanya berasal dari pengalaman namun bersumber dari wahyu.

Tetapi, yang membuat tipe kepemimpinan ini berbeda adalah adanya seperangkat moral atau nilai yang bisa diadopsi oleh para leaders di luar sana, khususnya pemimpin muda.

Ada empat sifat yang menjadi panduan moral seperti shiddiq, amanah, fathanah, dan tabligh. Secara bahasa, shiddiq berarti jujur, amanah memiliki arti terpercaya, fathanah itu cerdas, dan tabligh itu menyampaikan.

Namun, secara kontekstual, maknanya bisa diperluas lagi. Menurut penulis, tipe kepemimpinan seperti ini banyak dibutuhkan.

Kondisi dunia dan relevansi kepemimpinan profetik

Dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja dan itu fakta. Menariknya, kepemimpinan menjadi bagian dari masalahnya.

Pada 2019 lalu, keluar hasil survei menarik dari Barna, sebuah firma riset di California. Salah satu temuan survei ini mengatakan, 82 persen responden merasa bahwa masyarakat sedang menghadapi krisis kepemimpinan karena dunia tidak memiliki “good leaders”.

Pemuda yang saat ini berinisiatif membuat banyak inisiatif gerakan kebaikan sebenarnya secara tidak langsung telah mempraktikkan kepemimpinan profetik. Ia mampu mengontrol diri untuk memperjuangkan umat dari kegelapan (ulumat).

Menyelamatkan umat sesama pemuda penerus bangsa dari keterbelakangan, ketertinggalan, ketidaktahuan, ketidakstabilan dan kesewenang-wenangan. Mampu mempengaruhi dan menggandeng antar pemuda dengan ketulusan agar mampu meraih mimpi serta tujuan bersama seperti halnya dilakukan oleh para nabi.

Hal ini tidak mudah dilakukan. Namun saya percaya bahwa ditengah hiruk pikuk situasi saat ini, semakin banyak anak muda yang membawa arah bangsa ini kepada jalan cahaya (nur), arah perbaikan yang berbasis kebenaran dan perkembangan kehidupan generasinya juga dimasa yang akan datang,

World Economic Forum pada tahun ini mengeluarkan sebuah laporan tentang risiko global. Mereka mengelompokkan jenis ancaman berdasarkan dampaknya: jangka pendek, menengah, dan panjang.

Penulis akan membahas ancaman jangka pendek dan panjang. Pada ancaman jangka pendek, ada tiga ancaman yang secara langsung berdampak pada hidup masyarakat: penyakit menular (58 persen), lalu krisis mata pencaharian (55,1 persen), dan cuaca ekstrem (52,7persen).

Sedangkan, di kelompok ancaman jangka panjang, ada empat ancaman teratas: senjata pemusnah massal (62,7 persen), hancurnya negara (51,8 persen), hilangnya keragaman hayati (51,2 persen), dan kemajuan teknologi yang merugikan (50,2 persen).

Data-data tersebut menunjukkan bahwa pada nyatanya, banyak masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat kita.

Terlebih, dampak Covid-19 yang telah melenyapkan banyak pekerjaan, membuat ratusan ribu orang meninggal, dan juga membuat seluruh masyarakat khawatir apakah mereka akan hidup di hari esok atau tidak.

Kita juga perlu memasukkan berita bohong sebagai masalah karena dampaknya juga begitu nyata.

Orang tidak mau divaksinasi, ragu akan protokol kesehatan, menerapkan ilmu medis yang salah, dan lain sebagainya.

Selain itu, jika bicara pemuda, ada masalah ekonomi dan kesehatan mental juga yang melanda mereka.

Pada intinya, dunia yang sedang kita diami ini mengalami berbagai problematika rumit yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat di semua lini.

Ini bukan berarti bahwa pemimpin saat ini tidak termasuk sebagai good leaders. Tetapi, kita membutuhkan semakin banyak good leaders untuk menyelesaikan masalah.

Dunia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berkualitas dalam hal kecerdasan, melainkan juga secara emosional dan spiritual. Ditambah pula, kita hidup di lingkungan yang selalu berubah dan dinamis.

Banyak hal di luar kendali kita sehingga perlu kesabaran dan ketangkasan serta kecepatan dalam menyikapi perubahan tersebut. Menyikapi situasi tersebut, kita perlu pemimpin yang memiliki ketiga kualitas di atas.

Kepemimpinan profetik menjadi salah satu tipe kepemimpinan yang bisa diadopsi karena dengan situasi yang tak menentu ini, kita butuh semacam gaya kepemimpinan yang fleksibel, yang mampu membawa kita pada solusi permasalahan dan keluar dari situasi tak menyenangkan ini.

Bukan hanya di satu lini saja, melainkan di semua sektor.

Krisis pemimpin humanis

Boston Consulting Group (BCG), salah satu firma konsultan terkemuka, mengeluarkan sebuah riset yang menarik untuk kita telaah lebih lanjut.

Riset yang melibatkan 4.000 partisipan dari negara Prancis, Spanyol, Britania Raya, dan Jerman menemukan beberapa perspektif yang menarik.

Riset ini mencoba untuk mengetahui kualitas yang harus ditingkatkan seorang leader di masa ini.

Mereka membagi kualitas kepemimpinan dalam tiga aspek 3H: head (pemimpin perlu untuk melihat masa depan dan menentukan prioritas), hand (pemimpin perlu untuk take action dan memberikan hasil), dan heart (pemimpin perlu untuk menginspirasi dan memberdayakan orang-orang).

Temuan menarik dari riset ini adalah adanya ketidakselarasan antara fokus transformasi organisasi dengan kualitas yang diharapkan dari pemimpin yang baik.

Dalam fokus transformasi, 69 persen fokus pada aspek head, sedangkan aspek heart hanya 25 persen.

Di lain pihak, responden lebih dominan menginginkan pemimpin yang human-centric, pemimpin yang memimpin dari hati (37 persen). Hal ini menunjukkan bahwa aspek heart sering dinomorduakan oleh pemimpin masa ini.

Hal yang sama juga diutarakan oleh riset dari Global Shapers Community dan The Forum of Young Global Leaders yang berkolaborasi dengan Accenture.

Dalam laporan 2020 yang bertajuk Seeking New Leadership, riset mereka menggambarkan bagaimana preferensi kualitas pemimpin dari Generasi X dan Millennial.

Mereka memetakan lima kualitas kepemimpinan: (1) inklusivitas pemangku kepentingan, (2) emosi dan intuisi, (3) intelektual dan wawasan, (4) teknologi dan inovasi, dan (5) misi dan tujuan.

Hasil riset itu menjelaskan bahwa Gen-X dan Millennial mengedepankan intelektual dan wawasan. Ini berbeda dengan hasil riset dari BCG.

Tentu, ini perlu ditelaah lebih lanjut. Di satu sisi, pemimpin yang cerdas memang penting. Pengetahuan terhadap situasi, analisa tajam tentang apa yang harus dilakukan menjadi beberapa kualitas utama di era VUCA.

Akan tetapi, ada yang terlupakan bahwa leader ini memiliki anggota dan mereka butuh diperhatikan dalam aspek fisik dan mentalnya.

Pemimpin tidak akan bisa bergerak tanpa anggota yang berdaya dan semangat dalam melakukan sesuatu.

Oleh karena itu, di tengah situasi seperti ini, kualitas pemimpin yang human-centric menjadi lebih relevan dari yang sudah-sudah.

Namun, sayangnya, belum banyak pemimpin yang bisa merawat semangat anggotanya. Contohnya, riset dari DDI, sebuah firma konsultan kepemimpinan global, menemukan bahwa hanya 18 persen pemimpin yang percaya diri bisa membantu tim mereka menghindari burnout.

Selain itu, kemampuan pemimpin mengendalikan burnout anggotanya menurun seiring dengan level mitigasinya.

Kepemimpinan profetik yang memanusiakan

Perlu bagi setiap pemimpin untuk menjaga dan merawat emosi, spiritual, dan intelektualnya.

Sederhananya, dunia semakin membutuhkan sosok pimpinan yang human-centric. Nilai-nilai humanis itu penting karena tren saat ini menunjukkan bahwa anggota ingin memiliki pemimpin yang memberdayakan dan membuat mereka berkembang serta menunjukkan sikap empati yang tinggi.

Terlebih lagi dengan kondisi saat ini yang serba sulit dan menguras mental, fisik, dan pikiran semuanya.

Ada satu studi menarik dari Sunnie Giles tahun 2016 lalu di Harvard Business Review yang membahas tentang kompetensi terpenting yang harus dimiliki seorang pemimpin.

Studi yang melibatkan 195 pemimpin di 15 Negara dari 30 organisasi global. Mereka disuruh memilih lima belas dari tujuh puluh empat kompetensi terpenting seorang pemimpin.

Hasil studi awal ini menunjukkan bahwa 67 persen pemimpin mengatakan bahwa standar moral dan etika yang tinggi menjadi kualitas terpenting dari seorang pemimpin.

Kemudian disusul dengan membuat tujuan dengan panduan yang fleksibel (59 persen) dan mengkomunikasikan secara jelas keinginan dan harapan (56 persen).

Ada relasi antara hasil riset dari Giles tahun 2016 dengan harapan orang-orang akan kualitas yang diharapkan ada pada diri seorang pemimpin yang dikeluarkan oleh BCG tahun 2021.

Meskipun jika bicara soal standar moral dan etika, setiap orang memiliki panduannya tersendiri, tetapi ini menjadi satu aspek yang perlu ditindaklanjuti. Dan, kepemimpinan profetik sebenarnya sudah memiliki standar moral dan etika yang bersumber pada Sang Pencipta.

Kepemimpinan profetik lebih kepada bagaimana seorang pemimpin memperlakukan anggotanya lebih humanis.

Terlebih, Kepemimpinan profetik memiliki seperangkat panduan moral yang jelas berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits.

Selain itu, jika kita melihat kembali bagaimana cara Nabi Muhammad SAW memimpin, kita dapat mengambil hikmah bahwa beliau selalu memanusiakan umatnya dan memimpin dengan adil.

Begitu juga ketika kita melihat kepemimpinan para khalifah terdahulu seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Kepemimpinan profetik bisa diadaptasi karena relevansinya dengan situasi saat ini. Menurut Nasukah, Harsoyo, dan Winarti (2014), agar kita dapat menginternalisasi kepemimpinan ini, kita harus berangkat dari paradigma teologis: "dari Allah", " karena Allah", dan "untuk Allah."

Ini bisa disesuaikan dengan prinsip agama lain. Seseorang harus matang dalam beragama yang sumbernya berasal dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

Penulis juga menambahkan bahwa pemimpin yang profetik harus mampu mengkontekstualisasikan pemahaman beragamanya dengan situasi saat ini.

Karena itu, dari keseluruhan tipe kepemimpinan yang ada, kepemimpinan profetik memiliki ciri khas yang membuatnya menjadi lebih relevan saat ini, yakni standar moral dan etika yang jelas.

Sistem pemikiran kepemimpinan profetik menjelaskan bahwa tidak ada sumber moral dan etika yang jelas kecuali bersumber dari Tuhan yang Maha Esa.

Bukan berarti, kepemimpinan profetik bersifat teologis, tetapi ada kejelasan standar etika apa yang digunakan seperti soal keadilan, bagaimana cara memimpin yang bijak, dan amanah terhadap apa yang sudah dipercayakan kepadanya serta bagaimana memanusiakan manusia agar pemimpin dan anggota memiliki hubungan yang sehat dan saling memberdayakan.

Kepemimpinan profetik semakin relevan dengan situasi sekarang yang sangat dinamis. Banyak hal tak bisa diprediksi.

Karena manusia tak punya kendali atas dunia luar, mereka hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Berusaha semaksimal mungkin dalam artian bertanggung jawab terhadap segala tindakan yang ada di bawah kendalinya.

Oleh karena itu, tipe kepemimpinan ini harus diadopsi oleh seluruh pemimpin, khususnya para pemimpin muda.

Saya berharap semakin banyak lagi generasi z yang bergerak nyata menghidupkan wacana menjadi relita dengan prinsip kepemimpinan profetik.

Membawa pengaruh bagi sesama para penerus bangsa untuk mencapai ultimate goal dari Ibu Pertiwi, persis seperti apa yang nabi dan rasulnya lakukan dalam memperjuangkan kebenaran juga kebaikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com